Sismanto Di tengah derasnya tuntuan dari para akademisi maupun LSM untuk menaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBD maupun APBN itu ternyata menyimpan segudang rahasia yang begitu pelik untuk ditransparansikan, Perlu diketahui semenjak pemerintahan Gus Dur, Megawati sampai SBY saat itu persoalan anggaran yang begitu sulit untuk direalisasikan sesuai dengan porsinya adalah anggaran bidang pendidikan, mengapa demikian? Jawabannya membutuhkan kajian yang mendalam, tetapi seharusnya wacana ini bisa dijadikan sebuah pemahaman yang kritis, karena keterkaitannya bidang pendidikan ini begitu besar dengan kelangsungan generasi penerus bangsa Indonesia terutama dalam memberikan sebuah pendidikan moral, intelektual, budaya, dan agama. Membangun Sekolah-Sekolah ISO 9000:2001 Realisasikan Anggaran 20% Penulis adalah guru SD Plus Al-Kautsar Malang dan alumni mahasiswa program Pascasarjana Magister Kebijakan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang
Kondisi yang diinginkan oleh banyak pihak itu akhirnya menjadi kenyataan, anggaran biaya yang dialokasikan untuk pendidikan menjadi 20% (UU. No. 20 Tahun 2003). Banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa APBN dan APBD di pelbagai daerah dana pendidikannya tidak lebih dari 10 persen. Sebuah ironi untuk menyuplai sebuah tatanan pendidikan yang modern dan kompetitif.
Padahal, tuntutan kompetisi global bidang pendidikan ini telah memberikan sebuah inspirasi kepada setiap orang untuk mampu meningkatkan daya saing agar tetap survive dan berprestasi. Kota Surabaya dan Malang pada dasarnya memiliki potensi yang begitu besar dalam kemajuan komparatif (comparative advantages) sebagai modal untuk bersaing, diiringi dengan kemajuan kompetitif (competitive advantages) yang berkualitas, tetapi itupun belum bisa menjamin untuk bisa bersaing di era global ini. Oleh karena itu, yang menjadi harapan adalah sumber daya insani Indonesia harus selalu di asah dan ditingkatkan agar seluruh anak bangsa memiliki intelektual yang kompetitif serta bisa bersaing pada tingkat internasional.
Upaya untuk meningkatkan tersebut sangat dibutuhkan sebuah pengembangan konsepsi pendidikan yang maju di semua satuan pendidikan, termasuk sebagai penyuplai paling mendasar adalah anggaran pendidikan yang memadahi.
Tuntutan eksternal dan internal dunia pendidikan dalam pengembangan pendidikan di era reformasi dengan kebijakan otonomi daerah semakin terasa ketika masyarakat sering mengartikulasikan adanya transparansi sistem pengelolaan lembaga-lembaga negara. Sebagai konsekuensinya adalah bahwa problem sosial semakin tampak dan dirasakan oleh masyarakat. Kontrol sosial semakin mengemuka dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat peduli pendidikan yang mengaspirasikan peningkatan layanan publik, khsusnya pendidikan.
Julukan Malang sebagai jargon “Kota Pendidikan”, barometer pendidikan yang ada di Jawa Timur bahkan Indonesia Wilayah Timur perlu dipertanyakan ulang sebagai bahan evaluasi, mengingat berdasarkan hasil Otonomi Award 2006 dengan parameter layanan publik memakai tiga komponen nilai, yaitu; (1) survei publik, (2) inovasi, dan kodisi existing. yang dilakukan oleh Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) Kota Malang menempati urutan kedua setelah Pasuruan, sedangkan Kabupaten Malang hanya menempati urutan 45 dari dari 38 Kota/Kabupaten di Jawa timur (Koran Pendidikan, Agustus 2006).
Ada hal menarik dari penilaian tersebut, Kota Malang sebenarnya tidak kalah dengan Pasuruan dan Sidoarjo dalam penilaian inovasi dan kondisi existing (bukti fisik dan kuantitatif), namun Kota Malang jatuh pada nilai survei publik. Untuk itu Manajemen pendidikan berbasis kualitas dengan sertifikasi ISO (International Standardization for Organization) mutlak diperlukan, jika ingin pendidikan di Indonesia maju. mengacu pada landasan konstitusi itu pemerintah Kota Malang telah mengembangkan jenis dan fasilitas pendidikan melalui bentuk-bentuk sekolah berbasis ISO 9000:2001.
Secara umum, ISO 9001:2000 menyarankan adanya pendokumentasian prosedur yang dilakukan dan meyakinkan pada fihak-fihak yang terkait bahwa prosedur tersebut telah nyata dilakukan secara konsekuen untuk mencapai mutu hasil yang ditetapkan. Konsep tersebut bisa diterapkan di lembaga apapun yang committed pada peningkatan pelayanan pendidikan, sedangkan implementasinya dapat disesuaikan dengan karakteristik lembaga masing-masing.
Kebutuhan peningkatan manajemen mutu pendidikan yang bersertifikasi ISO dan SMKN 3 Malang dan SMK PGRI 3 Malang mendapat kepercayaan mengembangkannya. Ini perlu dilakukan untuk merespon merosotnya kualitas layanan pendidikan yang ada di Kota Malang. Lebih spesifik lagi, manajemen pendidikan berbasis kualitas dengan sertifikasi ISO (International Standardization for Organization) mutlak diperlukan, jika ingin layanan pendidikan berkualitas.
Rendahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan dapat dicermati antara lain pada rendahnya anggaran yang dialokasikan pada bidang pendidikan. Sejak kemerdekaan dideklarasi di negara ini lebih dari setengah abad yang lalu ternyata anggaran pendidikan tidak pernah mencapai angka yang memadai. Anggaran pendidikan di Indonesia memang sangat minim dan termasuk paling rendah dibanding negrara-negara lain, baik dengan negara-negara maju, berkembang, maupun terbelakang. Anggaran pendidikan di Indonesia hanya sekitar 1 persen dari GNP, padahal angka rata-rata untuk negara-negara terbelakang (least developed countries) seperti halnya Angola, Bangladesh, Malawi, Ethiopia, Congo, Nepal, Samoa, dan sebagainya sudah mencapai bilangan 3,5 persen. Sungguh-sungguh terjadi, Indonesia yang konon sudah lebih maju dari negara-negara terbelakang tersebut ternyata lebih pelit dalam mengalokasikan dana untuk kepentingan pendidikan rakyat.
Sebagai salah satu contoh ekpresi kebijakan pendidikan tergambar pada rangkaian penyusunan dan pengesahan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pengusulan program-program pendidikan selalu di monopoli oleh kekeuasaan dinas Pendidikan beserta kroni-kroninya. Kondisi semacam ini telah melahirkan kebijakan anggaran yang anti realitas, dan parahnya pemerintah selalu mengajarkan ketidakkonsistenan terhadap amanah konstitusi yang mewajibkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan minimal 20%. Angagaran pendidikan dari total APBN dan APBD.
Apalagi ketika pencanangan pendidikan internasional digulirkan dengan penekanan pada mutu kualitas layanan. Wacana ini langsung menuai banyak kritikan oleh pakar-pakar pendidikan Kota Malang maupun LSM-LSM pendidikan, yang mengatakan bahwa Kota Malang masih belum siap untuk melaunching canangan pendidikan internasional tersebut. Wacana ini ini semakin lengkap dengan tidak adanya panitia khusus di legislatif Kota Malang yang menangani pengembangan pendidikan secara terfokus.
Dalam banyak kesempatan telah disosialisasikan oleh Walikota Malang Drs. Peni Suparto, M.Ap. bahwa Kota Malang telah berani mencanangkan sebagai salah satu kota yang siap menyelenggarakan pendidikan internasional/bertaraf internasional. Sejumlah pertanyaan mengemuka apakah kondisi ini tidak kontradiktif dengan anggaran APBD Pemerintah Kota Malang sendiri yang hanya memberikan anggaran sekitar 8.6 persen. Bayangkan saja apabila sebuah keinginan yang begitu menggebu untuk menjadikan Kota Malang sebagai kota pendidikan internasional tetapi tidak diimbangi dengan biaya pendidikan yang memaadai, apa jadinya???