Sodomi Singapura dengan UU Ekstradisi

Banyumili Travel
Senin, 25 Maret 2024


Sismanto

Perjanjian ekstradisi RI-Singapura membawa angin segar setelah menggantung kurang lebih 20 tahun yang lalu, ialah Lee Hsien Loong sejak menjadi perdana menteri negara Singapura. Meski Sikapnya terlihat kuat bukan hanya dalam keputusan mengenai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, tetapi juga ingin mengatasi perselisihan Singapura dengan negara tetangga lainnya dalam berbagai isu.

Di tengah keterpurukan bangsa, tiba-tiba bangsa ini menorehkan tinta dalam penandatangan ekstradisi dengan Singapura. 27 April 2007 di Istana Tampaksiring Bali, Menteri Luar Negari RI Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menandatangani final perjanjian ekstradisi. Terwujudnya perjanjian ekstradisi ini ditengarai merupakan hasil pertemuan teknis tahap pertama di Singapura pada awal Januari 2005. Dalam pertemuan teknis pertama itu kedua belah pihak berbagi informasi mengenai sistem hukum di negara masing-masing dan negoisasi paralel dengan perjanjian pertahanan.

Setali tiga uang, demikian ungkapan yang pas mengartikulasikan penandatanganan itu, di satu sisi pemerintah RI sangat sulit mengajak Singapura untuk membuat kesepakatan ekstradisi. Sedang di lain pihak, tidak hanya perjanjian ekstradisi, namun perjanjian kerja sama pertahanan dan implementing arrangement. Indonesia bisa membawa para buronan kelas kakap di Singapura dan paralelisasinya dengan perjanjian kerja sama pertahanan

Dibalik kesuksesan Indonesia mengajak Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi, ditengarai ada tiga kelemahan dalam perjanjian itu. Pertama, Siangpura bisa mengajak pihak ketiga untuk mengadakan latihan perang di Indonesia. Kedua, perbedaan kesepahaman anatara Singapuran dan Indonesia mengenai definisi korupsi. Dan ketiga, masih menunggu ratifikasi DPR.

Pertama. Singapura dapat mengajak pihak ketiga, dalam soal ini Amerika untuk mengadakan latihan perang di wilayah toritorial Indonesia. Meskipun di bawah yuridiksi hukum Indonesia. Amerika dapat melakukan kegiatan spionase untuk memetakan lokasi-lokasi potensial. Misalnya minyak dan barang tambang lain.

Kedua, Perbedaan kesepahaman anatara Singapura dan Indonesia mengenai definisi korupsi. Dalam soal ini Indonesia menganut sistem hukum konvensional. Sementara Singapura memakai sistem Anglo Saxan, yang memutuskan seseorang diekstradiksi adalah pengadilan bukan pemerintah. Apalagi untuk menarik aset-aset yang dibawa kabur.

Ketiga, Masih menunggu ratifikasi DPR. Meskipun pemerintah RI-Sinagapura sudah menandatangani perjanjian esktradisi, bukan berarti ekstradisi terhadap pelaku kejahatan korupsi bakal mudah dilakukan. Selain belum diratifikasi, Kejaksaan Agung juga belum memiliki informasi akurat, baik nama maupun lokasi penjahat keuangan. Jika para tersangka telah berganti kewarganegaraan, Indonesia tidak dapat mencampuri hukm internal Singapura.

***

Tantangan Penegak Hukum

Perjanjian ekstradisi pada intinya akan mengatur penyerahan seseorang oleh satu negara ke negara yang meminta orang itu diserahkan. Permintaan muncul karena yang bersangkutan disangka telah melakukan tindak pidana. Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) tentang Ekstradisi, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1979, UU tersebut hanya efektif jika ada perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura. Adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, tantangan bagi para penegak hukum di Indonesia jelas semakin berat. Para penegak hukum Indonesia tidak lagi mempunyai alasan untuk membiarkan seorang pelaku korupsi lepas dari proses hukum. Muka Indonesia juga dipertaruhkan.

Efektif tidaknya perjanjian ekstradisi dengan Singapura itu juga sangat tergantung bagaimana proses hukum di Indonesia bisa memastikan bahwa seorang tersangka koruptor yang berdiam di Singapura memang patut di ekstradisi ke Indonesia. Dari kacamata pemberantasan korupsi, adanya perjanjian ekstradisi itu memang bisa berdampak positif terhadap upaya perang melawan korupsi di dalam negeri. Sedangkan dari kacamata hubungan luar negeri, perjanjian ekstradisi dengan Singapura jelas akan membawa warna baru. Bukan hanya Indonesia yang bisa meminta Singapura mengekstradisi seseorang yang berada di negaranya ke Indonesia. Singapura pun bisa meminta hal yang sama, yaitu mengekstradisikan orang yang berada di Indonesia untuk diserahkan ke Singapura karena melakukan tindak kejahatan di negara pulau itu.

Bagaimanapun juga, penegak hukum Indonesia siap tak siap “cancut taliwondo”, kapanpun perjanjian itu diratifikasi tidka ada alasan lagi gagal memburu koruptor yang kabur ke negara Sinagapura. Dalam soal ini, para pejabat maupun rakyat Indonesia tentu berlapang hati jika ada permintaan ekstradisi dari Singapura. Hal tersebut tentu tidak mudah bagi kita untuk melakukannya, terlebih jika warga yang diminta Singapura itu adalah warga Indonesia.

Jika merujuk ke UU No 1/ 1979 tentang Ekstradisi, daftar tindak kejahatan yang ada dalam UU tersebut banyak kekurangannya untuk diterapkan dalam kondisi sekarang ini akibat munculnya berbagai bentuk kejahatan baru. Dalam UU Ekstradisi tahun 1979 itu disebutkan ada 32 jenis kejahatan yang bisa menjadi objek ekstradisi. Akan tetapi di daftar itu tidak disebutkan soal jenis-jenis kejahatan mutakhir seperti pencucian uang (money loundry), penghancuran dokumen melalui internet, dan belum memasukkan imigran gelap.

Singapura punya list of crime yang jauh lebih lengkap. Akan tetapi itu tidak berarti kita harus mengubah UU tahun 1979 itu. Soalnya, kita juga sudah menandatangani berbagai perjanjian internasional yang bisa dipakai, misalnya perjanjian di bidang money laundering (pencucian uang).

Adanya perjanjian ekstradisi itu, akan melengkapi mutual legal assistant, yang ditujukan untuk mendapatkan barang bukti yang dibawa lari oleh koruptor dan juga sarana untuk memaksa pengembalian aset yang dijarah. Perjanjian ekstradisi ditujukan untuk menyeret si koruptor kembali ke Indonesia. Dengan demikian lengkaplah instrumen hukum yang tersedia untuk mengejar para koruptor yang lari ke Singapura.

Memang upaya ini adalah sebuanh langkah awal. Namun, setidaknya bisa dijadikan pijakan dan considerance bagi pelaku tindak kejahatan untuk membawa lari asetnya.

***

Penulis adalah alumni mahasiswa Program Pascasarjana Magister Kebijakan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang dan anggota Forum Penulis Kota Malang (FPKM)

Pernah dikirim ke kompas