oleh: Sismanto, M.KPd. Mengkaji permasalahan pendidikan hampir menjadi kebutuhan kita yang secara nyata berdampak pada keinginan masyarakat memunculkan kerinduan akan lahirnya genarasi-genarasi penerus bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga cerdas secara psikomotorik, sosial, emosional, dan spiritual. Sedangkan upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengembangan sumberdaya menuju manusia Indonesia seutuhnya terkesan lambat dan bahkan stagna. Upaya pengembangan itu dilakukan dengan mengadakan berbagai macam metode maupun media pembelajaran. Dan media pembelajaran yang lagi menjadi “kambing hitam” di tingkat elit pendidikan adalah penggunaan media televisi pendidikan untuk menjangkau masyarakat yang berdomisili di daerah pedalaman. Semenjak abad XIX merupakan awal mula ditemukannya Electrisce Telescope oleh seorang mahasiswa dari Berlin bernama Paul Nipkow, alat ini berfungsi sebagai pengirim gambar dari satu tempat ke tempat lain (Morissan, 2004). Temuan inilah yang kemudian menjadi titik awal berkembangnya televisi, dan sejak saat itu perkembangannya dari tahun ke tahun menjadi sangat pesat hingga detik ini dan bahkan televisi mampu menunjukkan eksistensi maupun dominasinya dibanding dengan media-media yang lainnya.. Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tanyangan-tayangan yang disiarkannya. Secara normatif, siaran televisi mampu menyajikan menu kepada masyarakat tanpa harus mendatangi, tidak membedakan status, kasta, golongan, dan usia selama 24 jam nonstop. Ini berarti televisi tidak dibatasi waktu hari, minggu, dan bulan. Melainkan hanya dibatasi waktu detik, menit, dan jam. Begitu juga, televisi pendidikan yang sementara ini digagas oleh pembuat kebijakan pendidikan oleh elit pusat dimaksudkan sebagai upaya pengkomunikasian informasi, mendidik, dan juga transfer of knowledge, khususnya di wilayah-wilayah pedalaman. Namun demikian, yang menjadi prmasalahan di kmudian hari adalah tv bukan lagi hanya wilayah-wilayah marginal.saja yang perlu untuk mndapatkan acara televisi pendidikan, melankan daerah-daerah yang dianggap lebih berkembangpun layak menikmati menu tv pendidikan. Dalam kompleksitas dan mata rantai yang panjang tentang televisi pendidikan serta dinamikanya, maka pertanyaan yang paling dominan muncul adalah bagaimanakah konsep dan strategi penyiaran televisi pendidikan yang tepat?, dan “Apakah tv pendidikan mampu mengimbangi siaran stasiun tv lain, mialnya; infotainment yang lagi booming, film-film karton yang dapat mensugesti anak sehingga anak lupa tuganya, maupun acara-acara menaik lainnya. Jika tidak dapat mengemas menjadi komoditi yang menarik lebih baik gunakan media-media yang lain yang lebih disukai anak, menjadi teman bermain sekaligus belajar sehingga anak merasa enjoy. Hal ini perlu dipahami bersama, bahwa televisi pendidikan memiliki fungsi yang sama dengan media massa lain, yaitu fungsi mendidik, menginformasikan, meneruskan nilai-nilai budaya bangsa, menjadi agen pembaruan (di negara berkembang). Sehingga, tanpa disadari dengan melihat acara/tayangan televisi seseorang telah mengikuti pendidikan. * * * * * Hemat penulis, untuk mmpertegas program pemerataan kualitas pendidikan dengan mengaplikasikan konsep televisi pendidikan, maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut. Pertama, membentuk tim yang bertugas menyiapkan program ini dengan sistem dan manajerial yang baik. Tim ini melibatkan wakil-wakil dari departemen pendidikan nasional yang mempunyai tugas dan fungsi secara teknis terhadap sekolah dan tenaga kependidikan. Kedua, perlu disusun dan dikembangkan considerance sebagai bahan untuk didiskusikan dan disempurnakan. Ketiga, Perlu diprogramkan suatu kegiatan diskusi yang intensif untuk mematangkan konsep dan program. Unsur-unsur yang perlu diundang dalam kegiatan diskusi tersebut mencakup unsur akademisi, praktisi, pemerhati, dan birokrat yang secara langsung maupun tidak langsung bertanggungjawab pada upaya peningkatan mutu pendidikan. pernah dimuat koran pendidikan*) Penulis adalah Pemerhati pendidikan pada SD Plus “AL–Kautsar” Malang dan Alumni mahasiswa Kebijakan dan Pegembangan Pendidikan PPS UMM