MENGELIMINIR KAPITALISASI PENDIDIKAN

Banyumili Travel
Senin, 25 Maret 2024


Sismanto, M.KPd.*)

Urgensi pendidikan yang kini menjadi isu strategis dan mempunyai dampak langsung pada konsumen pendidikan adalah mahalnya biaya pendidikan (baca kapitalisasi pendidikan) menjadi suatu hal yang menarik dan debatable. Di satu sisi kita menginginkan pendidikan unggul (Education for Exellence) dan di sisi lain kita juga tidak bisa menafikan bagaimana dinamika masyarakat, khususnya di daerah-daerah dan masyarakat marginal.
Pendidikan unggul yang diinginkan oleh masyarakat saat ini dan mendatang bukanlah komoditi/produk yang siap pakai bagi masyarakat marginal dan tidak kemudian secara serta merta masyarakat (konsumen pendidikan) dapat memasukkan anaknya ke dalam sekolah tersebut. Artinya hanya masyarakat kalangan atas saja yang bisa menikmati menu sekolah unggul.
Sekolah unggul menurut Astin dalam bukunya “Education for Exellence” dibangun dengan tiga hal, reputasi (reputation) yang berkaitan dengan citra dan almamater sekolah di mata masyarakat. Artinya semakin sekolah produktif dalam prestasi (akademik dan non akademik), maka masyarakat akan semakin percaya pada sekolah, sumber daya (resources), dan pengembangan potensi/talenta (talent development) berkaitan dengan bagaimana kemampuan kita untuk mengembangkan potensi siswa dan sekolah untuk mencapai keterunggulan.
Sekolah unggul yang selama ini “didewakan” oleh masyarakat bukanlah sebuah jaminan (quality assurance) yang dapat menyelesaikan masalah pendidikan. Pendidikan unggul identik dengan pendidikan mahal yang secara eksplisit sebagai bentuk pengakuan kelas sosial dari masyarakat yang ingin mengakui/diakui kelas sosialnya (gengsi) sebagai orang yang berduit. Manakala orang tua tidak memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan/sekolah yang unggul dengan biaya tinggi, maka  tidak dikatakan orang berkelas/kaya. Sehingga, berapapun harga yang dibayar dalam pendidikan akan dibayarnya.
Harapan orang tua tentunya ingin memasukkan anaknya di lembaga pendidikan yang unggul. Pertanyaannya kemudian yang muncul adalah  bahwa hampir semua orang tua akan resah manakala memasukkan anaknya ke suatu lembaga pendidikan yang unggul. Memikirkan keperluan-keperluan pada tahun ajaran baru seperti; pendaftaran siswa baru, DPP, buku perpustakaan, buku pelajaran, SPP, seragam sekolah, praktikum,  komputer, kegiatan keagamaan, dan ekstra kurikuler. Belum lagi pungutan-pungutan lain yang dilakukan sekolah, padahal hanya untuk mempromosikan ini dan itu atau menjanjikan berbagai peluang yang menggiurkan, padahal itu semua itu hanya iklan untuk menarik minat yang pada gilirannya janji itu tidak mungkin direalisasikan sekolah.
***
Hemat penulis, beberapa hal yang perlu dilakukan guna peningkatan kualitas pendidikan saat ini dan mendatang serta sebagai upaya untuk mengelimir kapitalisasi pendidikan yang kini tumbuh secara sporadis di hampir semua lahan pendidikan. Upaya-upaya yang penulis maksud ialah:
Pertama, pendidikan tidak harus dibangun dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha yang menjadi ruh/biaya operasional pendidikan lebih-lebih tanpa melibatkan pembiayaan kepada siswa. Kalaupun siswa dikenai biaya itupun harus disesuaiakan dengan tingkat pendapatan orang tua, semakin orang tuanya kaya maka semakin membayar mahal dan tidak  menyamaratakan pembiayaan kepada siswa.
Kedua, Bagaimana pemerintah dapat membuat regulasi tentang standar Biaya Operasional Pendidikan yang kini dikenal dengan BOS (Biaya Operasional Siswa). Kebijakan BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa (orang tua) dengan embel-embel program tertentu. Regulasi tersebut minimal untuk menetapkan unit cost maksimal siswa per tahun bagi setiap satuan lembaga pendidikan, sehingga jangan sampai terjadi ada biaya yang tak terduga, atau bahkan besarnya biaya itu diusulkan seenaknya oleh sekolah yang bersangkutan dan mendapatkan restu oleh komite sekolah yang kemudian diamini oleh Dinas Pendidikan setempat.
Ketiga, Pemerintah hendaknya mempunyai komitmen untuk mendistribusikan bantuan pendidikan (Imbal swadaya, Block Grant, dll) kepada sekolah sesuai dengan kuintasi yang dicairkan dan jangan sampai bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhenti di tingkat birokrasi. Artinya hanya sekian persen saja yang sampai ke lembaga pendidikan/warga sekolah tujuan, itupun kadang-kadang diberikan secara bertahap. Pendistribusian tidak harus dilakukan oleh birokrasi pemerintah, namun dapat juga dapat memberikan wewenang kepada LSM dan atau lembaga-lembaga idependent lain yang mempunyai kredibilitas, accountable dan progress report-nya jelas.
Pengelola lembaga pendidikan hendaknya lebih arif untuk menyikapi dan juga dapat menjalin kerja sama dengan komite sekolah dalam rangka penggalangan dana (raising fund). Di sinilah kepala sekolah dituntut untuk menentukan sikap apakah lembaga pendidikan yang akan dikelolanya memposisikan diri sebagai sekolah unggul, mahal, dan ataukah hanya menjadi sekolah pelengkap. Apabila mahal yang dimaksud sesuai dengan service yang diberikan kepada peserta didik, guru, masyarakat dan umumnya warga sekolah, maka hal ini tidak bisa dikatakan mahal karena sesuai dengan pelayanan yang diberikan.
Harapan kita ke depan pendidikan yang ada sekarang menjadi pendidikan yang unggul sehingga dapat mendongkrak Human Development Index (HDI) yang dalam tahun 2004 indonesia tercecer dalam urutan 111 menjadi lebih baik. Mimpi besar kita adalah bagaimana pendidikan unggul dapat kita laksanakan tanpa biaya yang mahal sehingga masyarakat marginal bisa menikmati/mengkonsumsi menu sekolah unggul/favorit dengan biaya yang relatif murah dan terjangkau. Mahal bukanlah suatu hal yang penting, tetapi bukan berarti tidak perlu..!!!

*) Penulis adalah Pemerhati pendidikan pada SD Plus “AL–Kautsar” Malang dan alumni mahasiswa Kebijakan dan Pegembangan Pendidikan PPS UMM