Judul : Lahirnya Betara Ganesha Alih Bahasa : Sri Sayekti Terbit : 1998 Resentator : Sismanto Menurut Sri Sayekti, bahwa istilah ini diambil dari serat Smaradahana, cerita rakyat yang berasal dari Pulau Jawa yang banyak dipengaruh oleh pola pikir ala India, Cerita ini sebenarnya dikarang oleh Empu Dharmaja, yang kemudian digubah dalam sekar Macapat dari bahasa Sekar Ageng oleh pengarang Jawa terkenal, R. Ng. Purbacaraka. Kemudian cerita ini dialihaksarakan oleh Moelyono Sastronaryatmo dan dialihbahasakan oleh S. Pratomo dan Sukatmo dalam Bahasa Indonesia. Penceritaan kembali Serat Smaradahana ini dilakukan agar lebih menarik dan lebih dikenal oleh pembaca, terutama anak-anak. Jadi, tidak salah jika Sri Sayekti kemudian menggubah cerita itu menjadi Lahirnya Betara Ganesha Sangat menarik bahwa Sri Sayekti mengawali buku ini dengan mengilustrasikan kegelisahan para dewa di swargaloka atas ulah Raja Sri Jayanila Rudraka, seorang raksasa yang berasal dari Senapura. Raja ini punya bala tentara dan prajurit yang sakti mandraguna, sampe-sampe para dewa tidak berani melawanya. Ilustrasi itu menggambarkan secara pas modalitas parmelenter Dewa-Dewa yang sebetulnya secara yuridis mampu mengeliminir bromocorah-bromocorah yang menghuru-hara di kahyangan. Meskipun secara pribadi banyak Dewa yang setidaknya kuat dalam menahan gempuran dan melabrak para bromocorah. Namun mereka tidak melakukannya, melainkan bermusyawarah di para Dewa di kahyangan. Alhasil, lahirlah Betara Ganesha (dalam arti bebasnya ”Dewa Pengetahuan”), dari Dewi Uma istri dari dewa Siwa. Sepak terjangnya, belakangan dapat mengaahkan para bromocorah, raksasa yang dikomandani oleh Raja Sri Jayanila Rudraka dengan bantuan para Dewa. *** Setelah membaca karya Sri Sayekti ini saya kesulitan menemukan kelemahannya. Karena saya pribadi menyetujui upaya yang dilakukan oleh Sayekti untuk melestarikan sastra daerah yang terkandung warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang tinggi nilainya. Upaya pelestarian itu bukan hanya akan memperkaya wawasan kita terhadap sastra dan budaya daerah, namun juga memperkaya dalam khasanah satra budaya bangsa. Dengan demikian, upaya yang dilakukan itu dipandang sebagai dialog antar budaya dan antar daerah yang memungkinkan satra daerah berfungsi sebagai salah satu alat bantu dalam mewujudkan manusia yang berwawasan keIndonesiaan. Hanya saja dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Sri Sayekti, buku ini akan lebih sempurna seandainya, pertama Sri Sayekti menuliskan langsung bahasa-bahasa yang ada dalam Serat SmaraDahana yang dikarang oleh Mpu Dhamajaya. Kedua, pengalihbahasaannya lebih diluweskan, sehingga enak dibaca. Ada kesan alih bahasa buku ini terlalu kaku dan tekstual sehingga agak berat dibaca kalangan awam. Padahal karya Sri Sayekti ini sangat penting untuk dibaca sebanyak mungkin kalangan. Mengakhiri resensi buku ini, saya ingin memberi simpulan nilai yang hendak sampaikan oleh pengarang, bahwa semangat kebersamaan tentu akan mengalahkan keangkaramurkaan. Kondisi ini paralel dengan indonesia sekarang banyak orang kuat, pintar namun berjalan sendiri-sendiri, akhirnya apa yang terjadi? Bukan Indonesia bersatu, tapi….
Halaman : 63 hlm + vii
Penerbit : Amanah Putra Nusantara