Manusia lahir di dunia fana ini semuanya dalam keadaan fitrah ibarat kertas yang masih putih yang belum ada tulisannya. Kemudian turun iqro atau perintah membaca, yang sebernarnya perlu ditafsirkan dengan pikiran filosofis, sehingga tidak diartikan dengan makna membaca melainkan merenung, memahami, mengaktualisasikannya. Dengan diturunkannya manusia ke bumi adalah sebagai khalifah[1] (pemimpin). Suatu keniscayaan, apabila seorang pemimpin adalah orang yang bodoh atau dengan kata lain tidak berilmu, kemudian Allah juga membekali manusia dengan ilmu pengetahuan. Allah mengajarkan nama-nama benda kepada manusia yang dengan cerdas manusia bisa memahami benda-benda yang diajarkan. Menurut Marheim yang dikutip Sanapiah pendidikan merupan seuatu proses yang dinamik yang senantiasa memperhatikan pengalaman-pengalaman sosial maupun personal, oleh karenanya menuntut analisis, seleksi, refleksi, dan evaluasi yang secara bersama-sama untuk memberikan sejumlah pengetahuan agar bisa lebih memahami totalitas dunia[2].Semua makhluk adalah belajar sepanjang hayatnya (long life education). hewan juga belajar, akan tetapi manusia belajar melalui akal dan pikirannya. Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya. Akhirnya dengan akal pikiran itu, manusia menjadi cerdas dan thu apa yang belum ia ketahui. Sehingga terciptalah kemajuan ilmu pengetahuan dan kebahagian dalam kehidupan. Pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian dan perkembangan intelektual anak. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, pendidikan senantiasa mengalami pengkajian ulang dan pembaharuan untuk mencari bentuknya yang paling ideal. Pembaruan dan pengembangan disesuaikan dengan melihat kesesuaiannya dengan hakikat pendidikan itu sendiri dan perkembangan anak. Penyesuaian ini tentu saja akan membawa sains dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di lingkungan pendidikan formal (sekolah) untuk mengembangkan pendidikan.Mayoritas penduduk Indonesia adalah penduduk menegah ke bawah dan petani kecil. Kebanyakan dari mereka adalah tuna aksara. Banyak diantara mereka yang masuk sekolah dasar tetapi tidak sampai tamat; kebanyakan cepat putus sekolah atau gagal mengikuti pelajaran secara teratur. Sedangkan selama ini pendidikan yang diadakan di Indonesia adalah bukanlah dari formulasi pendidikan sejati. Artinya adalah masyarakat kalangan bawah belum tersentuh oleh pendidikan yang berbasis pemerataan (educatian for al and all for educationl). Lebih-lebih sekarang ini banyak tumbuh sekolah-sekolah favorit, sekolah unggul, pakaian seragam yang itu semua sebenarnya adalah pelabelan terhadap kelas atas[3]. Apakah pendidikan di Indonesia hanya untuk mengakui kelas sosial saja? Dan apakah masyarakat kalangan bawah yang hidup di kolong-kolong jembatan misalkan tidak bisa mengikuti sekolah di sekolah-sekolah favorit? Padahal banyak diantara mereka secara akademik mampu bersaing dengan yang lain. Pendidikan yang kita selama ini sebenarnya adalah hanya transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada siswanya. Hal ini didasari dengan banyaknya guru yang hanya berorientasi pada target (goal oriented) tanpa adanya proses mendidik yang baik kepada anak didiknya. Perbedaan antara pendidikan dan pengajaran. Pendidikan mencakup masalah bagaimana mengembangkan anak didik sebagai manusia individu sekaligus warga masyarakat, sementara pengajaran adalah hanya bagian dari kegiatan pendidikan[4]. Padahal tujuan pendidikan yang sangat dasar dan elementer adalah (1) mengembangkan semua bakat dan kemampuan seseorang, baik yang masih anak, maupun yang sudah dewasa, sehingga perkembangannya mencapai tingkat optimum dalam batas hakikat orang tadi, (2) menempatkan bangsa Indonesia pada tempat terhormat dalam pergaulan antar bangsa sedunia[5]. Maka pendidikan harus diorganisir sesuai dengan prinsip pendidikan yang murni (the true principles of education). Pendidikan yang humanis yang paling menentukan dalam hal ini adalah bagaimana seorang pengajar mampu mengajarkan ilmu sebagai suatu ilmu empiris kepada anak didiknya, selain itu pengajar juga harus memiliki empati. Tanpa empati, pengajar tidak bisa mengajar dengan bergairah, syarat mutlak yang harus dimiliki seorang pengajar agar pelajar terbuka mata budinya terhadap keindahan ilmu pengetahuan (pendidikan).Perbaikan pendidikan tidak hanya berarti perbaikan masa depan anak didik, melainkan juga perbaikan bangsa dan negara Indonesia. Karenanya, sesuai dengan konsepsi long life education pendidikan harus melaksanakan pembinaan sedini mungkin mulai dari tingkat dasar. Berhasil tidaknya pendidikan pada akhirnya dinilai masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat. [1] Khalifah adalah pemimpin umat. Artinya adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan dan bawahan. Tetapi khalifah disini bisa diartikan orang yang bisa menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan lebih-lebih menjadi pemimpin umat. Menurut istilah yang dipakai oleh Umar Kayam adalah Lir suryo (jadilah engkau seperti matahari yang bisa memimpin alam dengan cahaya yang terang untuk dirinya dan orang lain), lir condro (jadilah engkau seperti bulan yang bisa menerangi walaupun hanya dengan beberapa ilmu (cahaya)), dan lir kartiko (bintang, artinya orang yang tidak bisa menerangi/memimpin orang lain tetapi minimal untuk dirinya sendiri) . [2] Sanapiah. Sosiologi Pendidikan. Hal. 33 [3] lihat kompas 1 Mei 1996 dalam Sumaji, dkk.. hal. 13 [4] Sumaji, Dkk., 2003. Pendidikan Sains yang Humanistis. Cetakan VI. Kanisius: Yogyakarta. Hal. 6
DAFTAR PUSTAKA Barnadib, Imam. 1992. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Andi Offset: Yogyakarta.Coverdale, G. M., 1985. International Institut for Educational Planning, Merencanakan Pendiidkan Sehubungan dengan Pembangunan Daerah Pedesaan, diterjemahkan Panuti Sudjiman. Penerbit Bharata Karya Aksara: Jakarta dan UNESCO: Paris. Faisal, Sanapiah. Sosiologi Pendidikan. Usaha Nasional: Surabaya. Nasution, S. 1983. Sosiologi Pendidikan. Penerbit Jemmars: Bandung.Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, CV. Rajawali: Jakarta.Santoso, S. Imam. 1981. Pendidikan Watak, Tugas Utama Pendidikan. UI Press: Jakarta.Sumaji, Dkk., 2003. Pendidikan Sains yang Humanistis. Cetakan VI. Kanisius: Yogyakarta.Supadjar, Damardjati. 2000. Filsafat Ketuhanan, Penerbit Fajar Pustaka Baru: Yogyakarta.