Awal ramadhan tahun ini lagi-lagi pikiranku dikejutkan oleh suatu prahara untuk menentukan hidup di jalan selanjutnya. Di satu sisi loyalitasku di suatu lembaga pendidikan yang sekarang ini saya mengabdi dan “ngangsu kawruh” (belajar dan belajar). Tuntutan profesionalisme, komitmen, dan dedikasi saya pertaruhkan. Dan di sisi lain saya harus menentukan pilihan atas tawaran kerja di salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Bukan lantaran gaji, tunjangan, atau apapun itu yang menjadi embel-embel tawaran tersebut. Tetapi lebih saya maknai suatu hijrah (kepindahan) . Saya jadi ingat kata-kata Novi teman sekelasku “Bukankah hidup ini sudah ada skenarionya, dan kita sebagai makhluk tinggal menjalankannya”? tinggal bagaimana kita menjalankan skenario itu sebagai peran utama. Pertanyaan demi pertanyaan tersebut tidak bisa disalahkan dan sudah sewajarnya muncul bagi siapapun yang akan menjalani kehidupan, tempat, dan dunia yang baru. Sebagaimana layaknya kebimbingan sinta atas dunia barunya nanti, begitupun juga aku masih meraba-raba apa yang akan terjadi di dunia baruku. Sehingga atas berbagai pertanyaan-pertanya an maupun asumsi-asumsi yang muncul itu, kemudian saya beranikan diri itu meringkas beberapa pertanyaan itu ke dalam dua pertanyaan utama. Pertanyaan pertama, adalah bagaimana menghadapi situasi, kondisi, dan lingkungan yang sama sekali baru. Kedua, apa yang kamu cari di tempat yang baru? Pertanyaan pertama, mengisyaratkan saya pada orang buta yang melihat gajah. Di satu sisi dikarenakan ia tidak bisa melihat gajah secara langsung, maka Si Butapun mencoba meraba-raba atau memegang salah satu objek yang akan diamatinya, misalnya kakinya. “Oh ternyata Gajah itu panjang, bulat, dan besar”. Ketika si Buta harus memegang badannya, maka iapun berucap “ternyata gajah memang besar dan lebar”. Ya lagi-lagi kita layaknya orang buta yang harus meraba-raba apa yang bernama tempat baru yang akan kita singgahi. Begitupun si Buta ketika memegang belalai gajah, maka iapun memberi simpulan bahwa gajah itu panjang, bulat, dan kecil. Begitu ia meraba-raba bagian-bagian yang lain, maka akan muncul persepsi yang berbeda-beda. Sehingga muncullah suatu simpulan bahwa gajah itu barangkali tidak sebesar orang yang melihat seecara langsung, tapi kecil seperti kesimpulan yang diberikan si Buta atas belalai gajah. Ilustrasi jawaban diatas memberikan konklusi bagi kita bahwa setiap sesuatu, objek, ataupun yang lainnya meskipun sudah kita kenal atau bahkan yang lebih ekstrim yang tidak kita kenal. Sesuatu yang begitu asing menurut panca indra kita terlalu abstrak untuk ditafsirkan yang menurut kita sudah benar, tapi tidaklah benar menurut orang ain apa yang kita tafsirkan. Merujuk pendapatnya Ronald Bartezdalam karyanya “The Dead of Author” bahwa kita tidak dapat mutlak benar menafsrkan sesuatu begitupula orang lain.hal ini dikarenakan bahwa setiap sesuatuatau seorang pencipta dan penulis punya “lisencia of puitica” sesuatuyang mutlak kebenarannya bagi sang pencipta atau kalau kita berani “membunuh sang pengarang” atau objek yang kita amati barulah kita tahu bahwa apa yang kita tafsirkn itu mutlak kebenarannya sebagaimana Ronald Bartez dalam karyanya. Dua pertanyaan menarik di atas tersebut patut disimak, namun dari kedua pertanyaan itu ada hal menarik yang patut saya beri apresiasi kala itu ketika menemui salah satu dosen senior yang saya anggap sebagai Bapak sendiri. Dari hasil pertemuan ini saya dapat termotivasi atas rencana kepindahan ke tempat yang baru, Lantas, barangkat atas asumsi pertanyaan pertama tentunya kita paham bahwa tempat baru yang akan kita singgahi bukanlah sesuatu yang aneh, atau bisa jadi sesuatu yang biasa-biasa saja seperti kondisi dan keadaan sebelum kita pindah. Saya jadi ingat guru Biologi SMA “Dunia tidak semudah yang kita bayangkan dan tidak sesulit yang kita lakukan” Filosofi besar yang saya tangkap kala itu mengisyaratkan untuk tetap rendah diri dan “andap ashor” terhadap jerih payah diri sendiri, bukan lantaran kemudian harus pasrah terhadap apa yang didapat namun lebih bermakna pada tataran aplikatif. Artinya, bahwa setiap orang punya naluri untk terus dan terus mengembangkan diri, termotivasi oleh suatu hal untuk sukses, dan belajar menuju kesempurnaan. Jika saja hal ini dipahami dan diterapkan oleh semua orang, maka saya yakin tidak ada diksi yang bernama “ketidakbenaran, karena setiap hal yang ideal itulah kebenaran”. Ya….begitulah kira-kira interpretasi saya terhadap nasehat dosen ketika saya harus berpamitan ke tempat kerja yang lebih jauh tempatnya. Lagi-lagi saya harus berpikir dan merenung sesaat untuk melanjutkan perjalanan panjang. “Apa yang salah atas diri saya” bukan lantaran atas ulah pimpinan yang membuat suasana tidak kondusif, tetapi saya lebih banyak mengambil sisi positif atas apa yang diinginkan oleh kakitang an pemimpin alias anak buah yang dipimpinnya. Sisi positif yang dapat saya petik adalah “jika saya tidak mau dipimpin oleh pemimpin yang seperti itu gaya kepemimpinannya, maka kelak kalau saya jadi pemimpin tentu gaya kepemimpinanku tidak sepeti yang telah Beliau lakukan, itulah sisi positifnya”. Jika dikaitkan dengan profesiku sekarang ini sebagai guru, perlu rasanya jika sebagai seorang guru harus didasari oleh perjalanan panjang penuh dialektika kehidupan dan pengalaman belajar dan bukan didasari oleh pengalaman teoritis yang mengekang. Memang pengalaman teoritis itu satu kondisi yang ideal, tapi tidak tepat jika dipaksakan pada seorang guru seperti saya. Sementara jika alasan kepindahanku ke tempat yang dikarenakan oleh seorang pemimpin. Maka, menjadi seorang pemimpin tentu saja bukan pekerjaan mudah, “Mutiara berasal dari kerang, tetapi hanya kerang yang terlukalah yang akan menjadi mutiara”. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah semua mutiara harus dari kerang yang terluka? Apakah untuk menjadi pemimpin juga harus belajar terluka, sebelum menjadi the real leadership? Malang, 27 Oktober2007
Saat-saat terakhir menuju keberangkatan di tempat kerja yang barupun tiba, rasa berdebar-debar dan memantik tanda tanya bagi siapapun berkecamuk jadi satu. Sinta salah satu teman kelas saya pernah bertanya kepadaku. “Bagaimana menghadapi dunia baru?” Apa dunia baru yang akan saya lalui seperti sebelumnya? Lantas apa yang akan saya temukan di dunia baruku nanti?
Sementara pada jawaban atas pertanyaan kedua semakin menyadarkan aku bahwa kepindahan ke tempat yang baru berkaitan erat dengan apa yang kita cari. Salah satunya adalah kepindahan kita dikarenakan suatu alasan hidup yang lebih baikdari sebelumnya.bisa juga dikatakan perpindahan ke tempat baru kita adalah untuk meniti kesuksesan. Sedangkan sukses itu sendiri adalah abstrak sebagaimana diungkapkan bahwa perjalanan sukses yang harus kutempuh begitu panjang, terjal, dan curam. tapi aku yakin dan percaya, ketika kakiku melangkah dan terus melangkah cepat atau lambat aku pasti sampai di ujungnya. di sanalah perjuanganku terbayar lunas. Dalam perjalanan mengejar impian aku terkadang harus terjatuh dan gagal. tapi selama nyawa masih di badan, berarti permainan hidup ini belum selesai. satu-satunya pilihan adalah bangkit dan kembali berjuang. hingga allah swt. menentukan batas akhirnya.
“Jangan pernah melihat gaji orang lain dan syukuri gaji sendiri”.
“Ketika menjadi pemimpin, pilihlah yang terakhir atas pilihan yang kamu pimpin”
Salah satu kepindahan di tempat yang baru itu tidak lepas dari sisi positif yang saya ambil atas pemimpin (baca kepala sekolah) atas gaya kepemimpinannya. Jika melihat secara teoritis, sistem, dan program-program yang Beliau berikan untuk memajukan lembaga pendidikan memang tidak ada yang salah dan saya juga sependapat dengan Beliau.
Sismanto yang lagi mau hijrah ke Skulnya PT.KPC (Kaltim Prima Coal)
085234018100
http://mkpd. wordpress. com
http://sismanto. multiply. com