Pendahuluan Banyak indikator telah menunjukkan bahwa mutu pendidikan kita masih sedemikian memprihatinkan. Rendahnya rerata NEM yang dapat dicapai oleh siswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas memberi petunjuk betapa rendahnya mutu pendidikan terhadap penguasaan bahan ajar yang dapat diserap. Kesenjangan yang bertingkat juga terjadi dan dirasakan oleh masing-masing jenjang seperti halnya sering dilansir kalangan Perguruan Tinggi yang merasa bahwa bekal kemampuan lulusan SMA masih dipandang kurang memadai, selanjutnya di kalangan guru-guru SMA dirasakan betapa rendahnya kemampuan lulusan SMP, demikian selanjutnya guru-guru SMP juga mengeluh betapa lemahnya kemampuan para lulusan SD. Belum lagi adanya 88,4% lulusan SMA tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan 34,4% lulusan SMP tidak dapat melanjutkan ke SMA (Balitbang Diknas, 2000). Hal ini tentunya juga berlanjut yakni betapa masih banyaknya lulusan SD yang tak dapat melanjutkan ke SMP. “Keterpurukan pendidikan” kita juga akan tampak semakin jelas bila kita mengacu pada komparasi internasional, dimana diketahui betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia sebagaimana yang dilaporkan oleh Human Development Index yakni Indonesia menduduki peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai, satu peringkat di bawah Vietnam. Sementara itu hasil survai the Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke 12 dari 12 negara yang disurvai, juga satu peringkat di bawah Vietnam. Ketika mutu pendidikan belum dapat teratasi, tantangan lain juga tengah muncul seperti angka putus sekolah sebagaimana yang telah disinggung di atas yang relatif tinggi, daya tampung sekolah yang masih sangat terbatas, angka pengangguran yang terus meningkat, lapangan kerja yang masih terbatas, dan seterusnya. Kesan-kesan sementara yang dapat ditangkap adalah bahwa pendidikan baru pantas dinikmati oleh sekelompok orang yang berduit. Kesan semacam ini tampak mencolok ketika sebuah sekolah dan perguruan tinggi favorit secara terbuka memberikan “kesempatan kepada siapapun” untuk menjadi siswa/mahasiswa sejauh mampu memberikan sejumlah dana yang ditawarkan. Sementara itu masyarakat awam tidak banyak memiliki infomasi tentang hak dan kriterianya untuk menuju kesana. Legalitas Demokratisasi Pendidikan Pengakuan terhadap hak asasi setiap individu anak bangsa untuk menuntut pendidikan pada dasarnya telah mendapatkan pengakuan secara legal sebagai-mana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa yang mencakupi orang tua, masyarakat, dan pemerintah memiliki kewajiban dalam bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Mengenai tanggung jawab pemerintah secara tegas telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menye-lenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Terkait dengan pernyataan tersebut, sejak tanggal 8 Juli 2003 pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang dianggap sudah tidak memadai lagi. Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasioanal dilakukan untuk memperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut secara tegas memperkuat tentang amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 tentang pendidikan. Secara retorik kedua ayat tersebut, telah cukup dapat dipergunakan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pendidikan yakni diberinya peluang bahkan dalam batas tertentu diberikan kebebasan, kepada keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan kondisi dan tuntuan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan perlu ditiadakan, dikurangi atau setidaknya ditinjau kembali hal-hal yang sudah tidak relevan. Dalam kaitannya dengan masyarakat belajar (leraning society) perlu diberikan kebebasan kepada masyarakat untuk dapat memilih belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan falsafah negara. Demikian pula halnya dengan pelaksanaan prinsip belajar seumur hidup. Selama ini memang kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan telah menuju pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga secara konseptual pemerintah telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Namun secara realitas masih cukup banyak diantara kelompok usia sekolah yang tidak/belum dapat menikmati pendidikan karena alasan tertentu baik karena ketidakterjangkauan biaya, tempat maupun kesempatan, sehingga hak mereka seolah “terampas” dengan sendirinya Demokratisasi dan Transformasi Sosial Sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan bahwa secara substansial demokratisasi pendidikan diartikan sebagai hak setiap warga negara atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk menikmati pendidikan. Dalam hal ini kesempatan setiap warga negara dalam mengikuti pendidikan juga tidak didasarkan atas diskriminasi tertentu. Hal ini sesuai dengan bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang bereda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu yakni pada level pendidikan dasar sembilan tahun; kedua, adanya peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya. Demokratisasi pendidikan bukan hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusia. Dalam hal ini melalui upaya demokratisasi pendidikan diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya. Dalam kenyataan ditemui adanya perbedaan perlakuan terhadap masyarakat atas hak-hak tersebut dalam menikmati pendidikan. Menurut kajian Mely G. Tan (1990) menunjukkan adanya dua kenyataan yakni yang bersifat terbuka yang berdasarkan kemampuan akademik dan ikhtiar pribadi, sedangkan yang lain bersifat tertutup yaitu yang berdasarkan golongan atau keturunan. Dengan adanya demokratisasi pendidikan, maka dengan sendirinya secara prinsip akan lebih memenangkan yang bersifat terbuka, sehingga setiap warga negara dalam menikmati pendidikan seharusnya tidak lagi didasarkan atas kabilah atau kelompok tertentu saja yang memiliki uang dan/atau kekuasaan. Perkembangan global yang salah satunya ditengarai oleh berkembangnya berbagai industrialisasi, perkembangan ekonomi, dan informasi yang sedemikian cepat memiliki pengaruh yang besar terhadap munculnya kategori kelompok-kelompok lapisan masyarakat. Era industrialisasi yang dibarengi dengan gencarnya informasi mendorong munculnya persepsi knowledge is power (Drucker, 1989:237). Kebutuhan terhadap pendidikan juga semakin bervariasi, baik yang bersifat formal maupun nonformal dengan penyelenggara yang beraneka ragam. Pusat-pusat infomasi baik yang melalui media elektronik maupun cetak dari dalam maupun luar negeri dengan mudah dapat diperoleh. Dapatkah realitas ini menciptakan ketidakberpihakan antara yang menguasai dan tidak menguasai knowledge. Hal ini menjadi sangat penting ketika menyangkut akses, alokasi, serta distribusi sumber-sumber informasi bagi masyarakat umum. Masalahnya terletak pada bukan saja siapa yang mempunyai akses terhadap sumber informasi, tetapi juga adakah mekanisme yang demokratis bagi para anggota masyarakat untuk memiliki akses terhadap sumber informasi. Kebutuhan akan hal ini sangat penting dan mendesak, karena seperti kata Drucker (1989:239) kita juga mengetahui bahwa knowledge workers tidak hanya menjadi leaders tetapi juga rulers yang mempengaruhi the forces of change. Mely G. Tan (1990:192-193) berpendapat bahwa terbentuknya lapisan masyarakat yang “cukup tahu” berkat akses informasi yang dimilikinya sebagaimana tersebut di atas, akan mengakibatkan tuntutan-tuntutan yang menyangkut berbagai kebebasan yang berhubungan dengan kualitas hidup. Termasuk juga tuntutan agar dihapusnya berbagai bentuk monopoli ekonomi maupun keterbukaan dalam kehidupan berpolitik. Proses semacam ini menuntut adanya relasi kemasyarakatan yang demokratis. Secara esensial salah satu tanggung jawab dari pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional dalam transformasi sosial yang tengah berlangsung adalah menanamkan dan mengoperasikan ethos, nilai, dan moralitas bangsa dalam menerima dan mengelola informasi yang silih berganti menjadi aset dalam meningkatkan kualitas dirinya. Dalam design pembelajaran secara eksplisit membuka peluang secara lebar terhadap penggunaan kemampuan nalar dalam mengelola dan mengambil keputusan terhadap perubahan yang dihadapi yang semuanya tersaji dalam bentuk integralistik dalam pendidikan, sehingga menjadikan knowledge people have to learn to take responsibility. Program Wajib Belajar pada Pendidikan Dasar Program wajib belajar secara menyeluruh pada level pendidikan dasar di Indonesia merupakan keputusan politik yang tak dapat diabaikan. Asumsi yang mendasari pentingnya keputusan politik tersebut, secara legal formal tertuang dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa :”Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Hal ini penting sebagai suatu batas minimal bagi seseorang agar dapat hidup secara efektif, efisien dan produktif di dalam masyarakat. Melalui wajib belajar sembilan tahun berarti bahwa semua warga negara yang berumur 9-15 tahun akan dipersiapkan sedemikian rupa melalui pendidikan untuk kelak menjadi warga negara yang dapat memainkan perannya secara terbuka dan demokratis. Mengingat strata kelompok ini cukup besar dan cenderung bertambah, maka kehadirannya menjadi penting untuk diperhitungkan. Kelompok tersebut merupakan basis yang cukup memadai bagi proses sosialisasi dan kualifikasi dalam pembentukan well informed rulers and leader sebagai suatu ciri yang penting dalam masyarakat informasi masa depan. Sehubungan dengan hal ini tentunya juga perlu dipikirkan model program wajib belajar yang tepat sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup versi Indonesia. Hal ini mengingat kompleksitas problema yang dihadapi oleh siswa dalam konteks kehidupan dan budaya yang menyatu dengan kehidupannya. Untuk menghadapi hal ini rentangan usia wajib belajar sebaiknya tidak merupakan harga mati, sehingga memungkinkan terjadinya model pembelajaran multy-entry-multy-exit khususnya pada pelaksanaan wajib belajar. Dengan demikian seseorang dapat dengan fleksibel mengatur kondisi dirinya dengan peluang yang tersedia pada masa-masa dimana dia dapat belajar dan bekerja. Mengacu pada model ini diharapkan dapat memberikan peluang kepada siapa yang hendak memasuki dunia kerja terlebih dahulu atau sebaliknya, karena ada jaminan bagi dirinya untuk memilih dan mengikuti pendidikan tertentu sesuai dengan kurun waktu yang diaturnya sendiri. Artinya bahwa dalam rangka demokratisasi pendidikan tidak lagi disekat dengan kurun waktu tertentu oleh para pengambil kebijakan, tetapi juga dimanfaatkan kapan saja mereka mau. Sebagai konsekuensi logis dari penerepan model ini adalah hilangnya garis pemisah antara masyarakt terdidik, setengah terdidik, maupun tidak terdidik. Guru dan Kurikulum pada Pendidikan Dasar Disadari bahwa secara konseptual pemahaman terhadap kurikulum mendapatkan pemaknaan yang sangat beragam. Para pakar kurikulumpun memberikan jawaban yang bervariasi, sesuai dengan sudut pandang kajian maupun aspek materinya yang sedemikian luas untuk dapat dijelajahi. Bahkan dari hal-hal yang paling konkret hingga yang paling abstrak sekalipun dapat dijadikan semacam argumen dalam memberikan pemaknaan terhadap kurikulum. Walau demikian, hal yang secara substansial perlu dicermati dan dijaga adalah adanya upaya pencegahan, sehingga tidak terjadi proses simplifikasi pemahaman terhadap makna kurikulum itu sendiri. Terjadinya keterjerumusan kita pada miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum antara lain sebgai akibat dari proses simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, sehingga terjebak memaknai kurikulum dalam arti yang sangat sempit. Sehubungan dengan ini, hal yang perlu dipertimbangkan dalam merancangbangun kurikulum pendidikan dasar untuk masa depan. Sebagai konsekuensi dari miskonsepsi terhadap pengembangan kurikulum adalah terjadinya “malpraktek” pendidikan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya peran serta guru dalam proses pembelajaran di kelas. Agar terhindar dari tindakan simplifikasi pemahaman terhadap kurikulum, maka ada baiknya jika secara singkat dibahas mengenai konsep kurikulum dalam arti luas, sehingga dapat dicermati kapan dan bagaimana guru dapat memberikan kontribusinya dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam literatur memang banyak ditemukan definisi kurikulum yang sangat bervariasi, bergantung pada konteks tertentu saat para pakar mendefinisikannya. Namun demikian menurut Beane dkk (1986) dinyatakan bahwa konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis pengertian yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk; (2) kurikulum sebagai program; (3) kurikulum sebagai hasil yang diinginkan dan; (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik. Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan, pengembangan, dan perekayasaan kurikulum. Pengertian ini memiliki keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam sebuah dokumen yang untuk selanjutnya diberi label kurikulum. Oleh karena itu kurikulum dalam arti produk merupakan hasil yang konkret yang dapat diamati dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah tim pengembang kurikulum. Kiranya perlu juga diingat bahwa definisi tersebut juga memiliki kelemahan yakni adanya pemaknaan yang sempit terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya dipandang sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan materi dari suatu mata pelajaran. Belum lagi jika kurikulum hanya dipahami sebagai produk berupa kemungkinan munculnya asumsi bahwa perencanaan kurikulum dapat mendeskripsikan semua kegiatan pembelajaran yang akan terjadi di sekolah. Untuk konteks lingkup pendidikan dewasa ini rasanya akan kesulitan untuk dapat mengakomodir semua fenomena kehidupan yang sangat dinamis. Kurikulum sebagai program secara esensial merupakan kurikulum yang berbentuk program-program pengajaran secara riil. Dalam bentuk yang ekstrim, kurikulum sebagai program dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu seperti halnya dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakupi aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu tertentu. Keuntungan yang dapat diambil dari cara pandang ini yaitu (1) dengan cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud kurikulum dengan lebih konkret, (2) dapat memahami bahwa kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam setting yang berbeda pada jenjang yang berbeda. Sementara itu kelemahannya adalah munculnya asumsi bahwa apa yang tampak dalam daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa. Sementara itu yang memandang kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai oleh para siswa, mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap dan berbagai bentuk pemahaman terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual, namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan dalam bentuk dokumen seperti halnya tujuan belajar, seperangkat konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya. Keuntungan dari cara pandang seperti ini berupa (1) kurikulum menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga tidak sekedar produk semata yang secara “ritual” harus diajarkan sebagaimana adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultural baik di sekolah maupun di masyarakat, (2) dapat menyusun kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope maupun sequennya. Adapun kelemahannya adalah adanya kesulitan bagi para guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah apa yang harus dipelajari oleh siswa dan cara mempelajarinya. Untuk yang terakhir yang memberikan pemaknaan kurikulum sebagai pengalaman belajar, pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat jelas dari tiga pemaknaan sebelumnya. Pemaknaan kurikulum yang terakhir ini lebih merupakan akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh siswa sebagai hasil kegiatan belajar atau pengaruh situasi dan kondisi belajar yang telah direncanakan. Sebagai konsekuensinya apa yang direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang mempengaruhinya seperti halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya sebaik apapun kurikulumnya bila tidak didukung oleh guru yang profesional tentu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa, demikian pula sebaliknya. Keuntungan dari pemaknaan tersebut setidaknya ada dua hal yaitu: (1) pihak guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya pada siswa dalam proses pembelajaran, (2) guru akan lebih melibatkan semua pengalaman siswa. Walau demikian ada pula kelemahannya yairu: (1) kurikulum terasa lebih abstrak dan kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya, dan (2) kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai konsekuensinya muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit (tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Keterlibatan Guru dan Kurikulum dalam Pembelajaran Proses implementasi kurikulum di sekolah sangat dipengaruhi oleh peran guru, artinya tanpa profesionalitas guru yang baik, kurikulum hanya akan berwujud dokumen sekolah yang tidak terlalu bermakna bagi proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru perlu terlibat dalam pengembangan kurikulum. Tanpa adanya keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum, pembelajaran di sekolah hanya akan menghasilkan verbalisme. Para siswa akhirnya tidak tahu akan berbuat apa dengan pengetahuan yang telah dihafalnya. Keberadaan semacam ini jika kita meminjam istilah Paulo Freire (1970:58) selanjutnya akan dapat “menjerumuskan” guru pada model pendidikan “banking” melalui ungkapannya: “Education thus becomes an act of depositing, in which the student are the depositories and the teacher is the depositor. Instead of communicating, thew teacher issues communiques and makes deposits which students patiently receive, memorize, and repeat. This is the banking concept of education, in which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filling, and storing the deposits. Terkait dengan ungkapan tersebut Scheerens (1992:8) memasukkan karakteristik pembelajaran pada masing-masing kelas sebagai salah satu determinan bagi efektivitas suatu sekolah. Sekolah dikatakan efektif bilamana proses pembelajarannya dapat mencapai tujuan yang ditetapkan dengan baik dan berimplikasi pada upaya guru dalam mengembangkan sistem pembelajaran secara profesional berdasarkan kurikulum yang ditetapkan. Secara profesional sebenarnya guru tidak dapat menghindarkan diri untuk tidak melibatkan dalam proses pengembangan kurikulum, artinya dalam kinerjanya guru tidak semata-mata mengejar target pencapaian kurikulum dalam arti produk. Dengan demikian siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman yang bersifat tekstual tetapi juga kontekstual dan kontemporer. Hubungan fungsional antara guru dan kurikulum sebagaimana yang telah disinggung di atas tampaknya masih kurang mendapatkan perhatian dalam praktek pendidikan kita selama ini. Guru masih sering dianggap sebagai pihak yang berada di luar proses pengembangan kurikulum, sehingga jarang atau bahkan tidak pernah merasa bahwa mereka seharusnya memiliki peran di dalamnya. Situasi semacam ini akan membuka peluang lahirnya “ritual” proses pembelajaran di sekolah yang secara kurikuler telah melakukan “malpraktek” atau “wan edukasi”. Agar siswa memiliki kemampuan dalam menganalisis persoalan-persoalan secara individual maupun kelompok, maka guru perlu dilibatkan dalam proses pengembangan kurikulum. Tanpa keikutsertaan guru dalam mengembangkan kurikulum ke dalam konseptualisasi dan eksperiensialisasi dalam pembelajaran yang dilakukan , maka para siswa hanya akan dijadikan tempat “deposito” berbagai informasi yang tidak jelas manfaatnya bagi tantangan masa depan yang dihadapinya. Penutup Demokratisasi pendidikan merupakan suatu kebijakan yang sangat didamba-kan oleh masyarakat. Melalui kebijakan tersebut diharapkan peluang masyarakat untuk menikmati pendidikan menjadi semakin lebar sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki. Jurang pemisah antara kelompok terdidik dan belum terdidik menjadi semakin terhapus, sehingga informasi pembangunan tidak lagi menjadi hambatan. Ungkapan pendidikan untuk semua dan semuanya untuk pendidikan diharapkan bukan sekedar wacana tetapi sudah harus merupakan komitmen pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkannya. Dengan demikian isu tentang besarnya putus sekolah, elitisme, ketidakterjangkauan dalam meraih pendidikan, dan seterusnya dapat terhapus dengan sendirinya. Daftar Pustaka Balitbang, Depdiknas. 2000. Statistik Pendidikan. Jakarta: Balitbang Depdiknas. Beane, J.A., Toepfer, C.F., Alessi, SJ. 1986. Curriculum Planning and Development. Boston: Allyn adn Bacon Inc. Drucker, P.F. 1989. The New Realities: In Goverment and Politics/In ecoomics and Business/In Society and World View. New York: Harper & Row Publisher. Freire, Paulo. et.al. 1970. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Scheerens, J. 1992. Effective Schoolling: Research Theory and Practice. London Willer House : Cassel Tan, M.G. 1990. Pelapisan Sosial: Siapa yang Mendapat Apa, Kapan, Bagaimana. dalam Pardede, S. (ed) 70 tahun Dr. I.B Simatupang; Saya Orang yang Berhutang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Widarta, I. 2002. Naskah Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Yogyakarta: Pustaka Kendi. __________ 2003. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika. Disampaikan oleh Acmad Munib, SH., M.Si. dalam acara Konaspi Surabaya