Mencari Sosok Gubernur Kaltim

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Adalah sebuah keniscayaan manakala susksesi kepemimpinan di suatu organisasi pemerintahan dilakukan bagi kelangsungan pemerintahan yang sustainable. Begitu juga Propinsi Kalimantan Timur tidak terlepas dari hal tersebut. Mengingat tinggal beberapa bulan lagi atau tepatnya tanggal 26 Mei 2008 pemilihan gubernur Kalimantan Timur akan segera digelar, semua orang sudah mulai mempersiapkan jagonya masing-masing yang akan memimpin Kaltim 2008-2013.

 

Adanya banyak indikasi pelanggaran, penyelewengan dan kekerasan terhadap proses pemilihan anggota legislatif hingga pemilihan eksekutif menunjukan masih banyak celah yang dapat ditawar dan digugat oleh pelaku politik. Sementara itu partai politik (parpol) yang seharusnya sebagai penyupai calon-calon di legislatif dan eksekutif masih belum mampu menghasilkan produk SDM unggul yang diajukan dalam pemilihan yang menentukan legitimasi formasi kepemimpinan. Sementara rakyat sebagai pemilih semakin bertambah ambigu atas calon yang diusulkan parpol. Benarkah partai politik tidak mampu menghasilkan calon pemimpin yang ideal? Atau justru bentuk kebobrokan partai politik? Ataukah calon independen memang sudah layak maju?

Bagi parpol yang sudah mempersiapkan calonnya, misalnya melalui tim suksesnya sudah mulai berancang-ancang menentukan strategi apa yang akan digunakan dalam pemilihan gubernur nantinya. Meskipun waktu kampanye masih belum ditentukan secara resmi. Tapi banyak kandidat pilgub melalui tim suksesnya maupun secara pribadi sudah mencuri-curi start kampanye. Memasang umbul-umbul di sepanjang jalan, poster-poster maupun menyampaikan visi dan misinya di berbagai media cetak maupun elektronik. Dan bagi calon pemilih yang belum punya calon masih meraba-raba siapa calon yang akan dipilihnya atau tidak memilih calon gubernur kaltim sebagaimana saya tulis pada edisi sebelumnya (Kaltimpost, 1/1/2008).

Namun yang menjadi pertanyaan saya, dan barangkali masyarakat Kaltim pada umumnya adalah apakah bakal calon-bakal calon (balon-balon) yang sudah ada sekarang merupakan representasi dari aspirasi masyarakat marginal. Namun yang jelas, satu kata yang ingin kita sepakati bersama adalah bahwa siapapun gubernur Kaltim yang jadi pada periode 5 tahun mendatang, Kalimantan Timur tetap menjadi propinsi yang makmur, adil, dan sejahtera.

Setidaknya ada 4 (empat) kriteria yang semestinya ada pada calon guburner Kaltim 2008-2013 nanti. Pertama mempunyai kesempitan sektoral. Artinya bahwa calon gubernur kita nanti adalah bukan seorang pedagang, pegusaha, ataupun dari kalangan politisi. Bisa jadi calon gubernur kita nanti berasal dari tokoh adat, pemuka agama, atau dari kalangan akademisi. Dengan begitu gubernur kita tidak akan membuat program-program populis yang sebenarnya itu hanya untuk kepentingan dirinya atau kepentingan golongannya dan bukan bagi kepentingan masyarakat Kaltim.

Kedua, bahwa selayaknya pemimpin kita mempunyai kepekaan, kompetensi, dan keahlian. Artinya bahwa tidak ada keragu-raguan dari sang pemimpin untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis meupun populis yang kemudian berdampak pada kemaslahatan rakyat. Misalnya dalam menentukan visi dan misi Kaltim melalui program-program yang diimplementasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang positif, sinergi, dan tentunya mempunyai kemashlahatan bagi khalayak.

Ketiga, guburnur Kaltim yang kita inginkan adalah “seseorang yag lebih mengutaman kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongannya”. Hal inilah yang kemudian menjadikan Kalimantan Timur yang kita inginkan semakin sinergi dengan semangat membangun Kaltm bersama pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.

Keempat, Gubernur masa depan Kaltim adalah gubernur yang mampu melakukan pelayanan publik dengan baik. Pelayanan akan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, dengan biaya murah akan menjamin kesejahteraan masyarakat Kaltim, demikian pula pelayanan kesehatan yang baik juga akan mensejahterakan masyarakat Kaltim dan pelayanan-pelayanan publik lainnya.

Sosok Gubernur yang sempurnya yang seperti yang saya kemukakan di atas sama halnya “mencari jarum di jerami” sesuatu yang kecil dan sulit ditemukan tapi bukan berarti sosok calon gubernur seperti itu tidak ada, tentu ada tapi siapa?

Sekedar memberi catatan saja, mengingat saya belum tahu benar tentang bakal calon gubernur yang akan maju dalam pemilihan gubernur, setidaknya mengisyaratkan saya pada orang buta yang melihat gajah. Di satu sisi dikarenakan ia tidak bisa melihat gajah secara langsung, maka Si Butapun mencoba meraba-raba atau memegang salah satu objek yang akan diamatinya, misalnya kakinya. “Oh ternyata Gajah itu panjang, bulat, dan besar”. Ketika si Buta harus memegang badannya, maka iapun berucap “ternyata gajah memang besar dan lebar”. Ya lagi-lagi kita layaknya orang buta yang harus meraba-raba siapa sosok gubernur yang ideal. Begitupun si Buta ketika memegang belalai gajah, maka iapun memberi simpulan bahwa gajah itu panjang, bulat, dan kecil. Begitu ia meraba-raba bagian-bagian yang lain, maka akan muncul persepsi yang berbeda-beda. Sehingga muncullah suatu simpulan bahwa gajah itu barangkali tidak sebesar orang yang melihat secara langsung, tapi kecil seperti kesimpulan yang diberikan si Buta atas belalai gajah.

Ilustrasi jawaban di atas memberikan konklusi bagi kita bahwa setiap sesuatu, objek, ataupun yang lainnya meskipun sudah kita kenal atau bahkan yang lebih ekstrim yang tidak kita kenal. Sesuatu yang begitu asing menurut panca indra kita terlalu abstrak untuk ditafsirkan yang menurut kita sudah benar, tapi tidaklah benar menurut orang lain apa yang kita tafsirkan. Merujuk pendapatnya Ronald Bartez dalam karyanya “The Dead of Author” bahwa saya tidak dapat mutlak benar menafsrkan sesuatu begitupula orang lain. Hal ini dikarenakan bahwa setiap seorang punya “lisencia of puitica”, sesuatu yang mutlak kebenarannya bagi sang pelaku atau ideal sebagai sosok gubernur Kaltim tapi belum tentu benar bagi orang lain.

Pokok di atas hanya mau mengatakan, pemimpin itu orang yang mesti mengoperasikan kepemimpinannya dalam hiruk-pikuk pertarungan berbagai sosok kekuasaan yang tidak mudah diurai, yang simptomnya bisa kita kenali dalam persoalan sehari-hari. Tidak akan diajukan usulan klisé bahwa agar kepemimpinannya berkualitas, para pemimpin perlu pandai, energik, punya visi, tak membosankan, punya karakter, berani, dan semacamnya. Seorang pelajar teladan juga mempunyai ciri-ciri itu.

Beberapa pemikiran B. Herry Priyono (2003) yang saya kutip, memberikan sumbangan pemikiran tentang seorang pemimpin yang ideal. Sekurangnya ada tiga pokok dasar yang perlu kita cermati dalam rangka menemukan sosok kepemimpinan gubernur yang ideal:

Pertama, Intelektualitas dalam arti luas. Maksudnya adalah bukan terjebak pada tingginya gelar formal karena gelar dengan mudah bisa dibeli. Bukan pula soal kepandaian formal. Yang dimaksud adalah keluasan, kedalaman, dan kepekaan wawasan dalam mendekati persoalan yang berdampak luas pada pembentukan dan perusakan ’Kaltim’. Tentu, keluasan-kedalaman-kepekaan itu biasanya mengandaikan kadar tertentu pendidikan formal, tetapi tidak setiap pendidikan formal membentuk kedalaman, keluasan, dan kepekaan wawasan.

Hal inilah yang menjadi prasyarat menjadi intelektual-akademisi ketimbang pemimpin suatu daerah. Bukan itu maksudnya. Bukan pula mau menunjuk pada philosopher king. Seperti akan tampak dalam dua pokok lain nanti, tanpa keluasan-kedalaman-kepekaan sebagai insting, pemimpin republik akan ditandai kedangkalan-kesempitan-kebebalan dalam mengenali kepentingan bersama yang mesti ditemukan dalam simpang siur berbagai sosok kekuasaan.

Kedua, Mengatasi “ceteris paribus” Ceteris paribus adalah ungkapan bahasa Latin (bentuk ablativus dari enam tasrif tata-bahasa Latin). Secara harafiah istilah itu menurut Priyono berarti ’dengan melihat faktor-faktor lain sama/konstan. Istilah itu merupakan ungkapan biasa dalam literatur Latin. Dalam ilmu ekonomi, istilah itu dipakai untuk menyatakan prosedur penjelasan sebab-akibat gejala dengan memakai variabel penjelas tertentu, tetapi dengan menangguhkan variabel-variabel penjelas lainnya.

Prinsip ceteris paribus menurut Priyono, bisa dikenakan untuk berbagai persoalan konkret. Apa kaitan pokok itu dengan kepemimpinan? Dengan bantuan diagnosa keilmuan, kita memahami secara lebih jernih kinerja sebab-akibat serta solusi berbagai persoalan dalam masyarakat kita (misal KKN, konflik umat beragama, kasus BLBI, konsumerisme, dan lain-lain). Akan tetapi, spesialisasi dunia ilmu akan selalu membuat diagnosa keilmuan bersifat ceteris paribus. Artinya, selalu cenderung mendekati masalah secara terbatas dari sudut keilmuan tertentu (misal dari sudut hukum atau ekonomi), dan menangguhkan berbagai perspektif lain sebagai penjelas yang tidak kalah penting (misalnya sudut psikologis atau sosiologis). Atau, kita menganggap perspektif-perspektif lain sebagai konstan. Di situlah terletak kerancuan fatal lantaran masalah faktualnya sekaligus berupa soal hukum, ekonomi, psikologi, sejarah, sosiologi, dan sebagainya.

Ketiga, Kebijakan publik. Apabila intelektualitas merupakan habitus kepemimpinan, dan pengatasan ceteris paribus adalah modus procendi kepemimpinan, kebijakan publik adalah arena di mana keduanya menjelma. Tinggi rendahnya kualitas kepemimpinan langsung kasatmata pada dataran ini.

Suatu kebijakan disebut ’publik’ bukan terutama karena diundangkan, bukan pula karena dilaksanakan umum, tetapi karena soalnya menyangkut hidup bersama. Mengapa hidup bersama membutuhkan public policy? bisa saja seorang gubernur begitu peduli investasi. Ia akan membangun makin banyak mal, bahkan bersemangat menggusur taman-taman kota dan ruang-ruang publik. Akan tetapi, kepedulian itu tak bisa dilihat di luar akal-sehat bahwa keberlanjutan hidup urban membutuhkan tata ekologi taman serta ruang publik sebagai “jantung sehat”.

Tiga pilar kepemimpinan di atas (’intelektualitas dalam arti luas’, ’pengatasan ceteris paribus’, dan ’kebijakan publik’) terkait erat satu sama lain. Tinggi rendahnya kualitas kepemimpinan berdiri di atas tinggi-rendahnya pemancangan tiga pilar itu. Permaslaahannya kemudian adalah seandainya tiga pilar itu telah tinggi terpancang, para pemimpin masih harus menjawab pertanyaan: “Kalimantan Timur seperti apa yang mau dibentuk?” Mengatakan “tentu saja, yang adil dan beradab!” Sama dengan mengatakan terlalu banyak dan sekaligus terlalu sedikit.

Untuk itulah menurut hemat penulis, beberapa pokok sederhana yang mungkin berguna kita pakai untuk menggagas kualitas kepemimpinan Gubernur Kaltim ke depan jika tidak mampu memenuhi empat kriteria di awal tulisan saya dan tiga pilar menurut B Herry Priyono, setidaknya; (1) mampu membangkitkan kepercayaan dan loyalitas masyarakat Kalimantan Timur, (2) menyampaikan gagasan/idenya bukan hanya dari pemikirannya sendiri melainkan hasil dari para pakar, LSM, praktisi, dan juga politisi sipil, dan (3) yang terakhir kebijakan-kebijakan strategis yang diambil merupakan aspirasi masyarakat Kalimantan Timur. Manakala tiga hal tersebut tidak bisa terpenuhi tidaklah perlu menunggu 100 hari untuk di turunkan dari kursi Gubernur, tetapi dengan pertanggungjawaban moral sebagai seorang gentlement seraya berkata “Saya gagal mengemban amanat”.

pernah dimuat di harian kaltimpost 10-11 Januari 2008