Lima bulan lebih saya menjadi guru di daerah pertambangan, namun tidak ada juga perubahan yang berarti terhadap makhluk imut-imut yang sedang saya hadapi. Mereka bukan apa-apaku, bukan saudaraku, mereka adalah makhluk yang dititipkan oleh orang tuanya kepadaku. Bedanya dengan penitipan barang, kalau mereka menitipkan barang tentunya ada biaya yang dikenakan dan relatif mahal, tetapi kalau menitipkan anak di sekolah jika dihitung secara ekonomis akan lebih murah. Sengata, 3 April 2008
Analoginya sederhana, kita parkir saja sekali jalan Rp. 1.000. jika dalam satu hari kita parkir 5 kali, maka dalam 1 bulan kita parker 150 kali dan bila dikalikan dengan 1.000 hasilnya untuk parker saja Rp. 150.000. itu parker kita yang hanya berupa barang. Lha ini kita “menitipkan” anak-anak kita di sekolah dengan membayar Rp. 20.000 per bulan itupun juga sering nunggak dan tidak membayar sampai guru harus menagih-nagih ke orang tua. Padahal, yang kita “titipkan” ke sekolah itu adalah masa depan, investasi dan amanah kita yang paling mahal, tentu saja bahwa anak adalah investasi masa depan yang menjanjikan. Lantas mengapa banyak orang tua yang tidak sadar dengan hal ini?? Lantas kenapa banyak anak yang tidak menurut dengan gurunya? Apakah gurunya kurang sayang kepada anak didiknya? Atau gurunya sibuk menafkahi dirinya dan keluarganya daripada harus mengajarkan dan mendidik ini dan itu kepada anak orang lain?
Satu hal yang menarik dan membuat saya semakin penasaran dengan mereka bahwa apa yang mereka perbuat, kenakalan yang mereka lakukan adalah wajar. Kenakalan seorang yang tidak disengaja dan memang mereka tidak tahu. Kita sebagai gurunya berkewajiban untuk mengarahkan sesuai dengan potensinya. Berbeda dengan anak remaja, SMP atau SMA, apa yang mereka lakukan sedikit banyak sudah menggunakan nalarnya secara optimal. Makanya, tidak jarang dan kerap kali di kalangan remaja pada beberapa kasus pernah kita temukan. Pun demikian, beberapa diantaranya bahkan ada pula yang di sekolahkan di masyarakat terpidana (lembaga permasyrakatan, red).
Mereka semakin terkucil dan tidak punya spirit of injection untuk menghadapi kenyataan hidup. Alih-alihnya, mereka selalu minder dan tidak punya keberanian untuk tampil ke muka dan berada di masyarakat. Hal ini tidak berhenti di situ saja, anak-anak ini juga semakin terpuruk dalam dinamika paradoksal kehidupan yang semakin menggurita dan kompleks. Sehingga, perlu rasanya memberikan suntikan moral yang tepat guna dan berdaya guna dengan menumbuhkan kebangkitan moral atas dirinya sendiri.
Bicara moral tidak pernah ada selesainya, mengingat di satu sisi kita menginginkan generasi penerus yang berbudaya tetapi di sisi lain bagi anak menginginkan kebebasan untuk berekspresi. Sehingga ada anak yang mencari-cari alasan orang tuanya sebagai penyebab ketidaksempurnaan moralnya, kurang kasih sayang, kurang ini dan kurang itu.
, “apakah mereka kurang kasih sayang dari orang tua? Atau kurang disayang oleh gurunya?” jawabannya TIDAK, mereka tidak kurang kasih sayang bahkan berlebih, setiap orang tua apapun bentuk kerjanya; kerja di kantoran, perkotaan, tambang yang terkanal keras, dan nelayan yang tak kalah keras, dan profesi-profesi lain yang menuntut waktu yang ekstra sampai-sampai mereka sibuk dan terbuai dalam pencarian nafkah. Mereka tetap saja orang tua yang akan pulang ke pangkuan keluarga mereka, dan di sinilah kasih sayang itu muncul.
Beberapa hari yang lalu saya sempat melihat acara televise seorang prajurit yang sedang mengikuti acara hiburan harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua sampai 17 bulan lamanya karena tugas. Saya melihat prajurit ini sangat senang sedang profesinya, dan memang benar 17 bulan kemudian ia pulang dan kembali ke keluarganya. Sekarang anaknya sudah berusia 24 bulan, suatu profesi yang luar biasa yang membutuhkan pengorbanan. Untuk itulah, adalah kurang pas jika ada anak yang mengatakan bahwa dia tidak mendapatkan kasih sayang. Seharusnya anak tersebut mawas diri dan menginstropeksi atas apa yang mengalaminya.
Meskipun, secara normal jika bandingkan dengan orang tuanya porsi peran guru cenderung kalah optimal. Namun, pada beberapa kasus ada pula yang lebih mematuhi gurunya ketimbang orang tuanya. Untuk itulah, peran guru semakin mempunyai posisi yang strategis bagi perkembangan psikologis dan sosial anak di sekolah. Guru sebagai wali orang tua di sekolah sudah seharusnya sadar tentang bagaimana posisi anak yang diamanahkan orangtuanya kepadanya ini sebagai investasi masa depan mereka. Sehingga metoda-metoda pembelajaran yang digunakan juga semakin berdiversifikasi dan spesifik sesuai dengan gaya belajar anak. Guru tidak hanya menumbuhkan pada diri anak rasa kecil hati, takut, gelisah, dan keluh kesah.
Jika kita perhatikan terhadap metode kita dalam mendidik anak, yaitu selalu manukut-nakuti anak bila menangis dengan harapan supaya meraka diam. Kita menakut-nakuti mereka dengan kata hantu, penculik, setan, suara angin, dan lain sebagainya. Lebih naif lagi, kita menakut-nakuti mereka dengan gurunya maupun sekolahnya. Sehingga, ia selalu dihantui rasa takut dari sesuatu yang mestinya tidak perlu ditakuti. Dan, yang lebih serius lagi ialah kita merasa gelisah ketika anak itu jatuh ke atas tanah sehingga darah mengalir dari mukanya, tangannya atau lututnya. Yang semestinya, kita berusaha senyum, menenangkan kecemasan anaknya, dan memberikan pengertian kepada anak bahwa itu masalah ringan. Namun kenyataannya, kita merasa gelisah, terkejut, memukul-mukul mukanya, memukul-mukul dadanya, meminta bantuan, dan membesar-besarkan masalah tersebut sehingga anak itu bertambah nangis dan bertambah takut karena melihat darah atau karena kesakitan.
Mengapa demikian? setiap anak nantinya akan hidup di dalam masyarakat dan di dalam masyarakat nantinya akan terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Sebagai guru tentu ingin melihat anak didik kita bisa beradaptasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masarakat. untuk itu, mulai sekarang biasakan mendidik anak, mengajarinya dengan keberanian tanpa kecil hati, yang nantinya itu akan digunakan anak untuk bekal di kemudian hari.
Rasa percaya diri anak-anak ini dapat membuat mereka mampu membedakan antara kebenaran dan kejahatan, kebaikan dan kesalahan, serta keindahan dan keburukan. Mereka akan memiliki kemampuan untuk menyingkirkan segala bentuk penyimpangan moral dan menyediakan kehidupan yang aman dan membahagiakan buat dirinya dan keluarganya.
Dengan demikian, usaha membangkitkan moral dan spirit anak kategori ini memang bukanlah membalikkan telapak tangan. “mencegah lebih mudah daripada mengobati” merupakan pepatah yang sering kita dengar dan ada kalanya memang benar, tapi pepatah ini tidak berlaku betul bagi anak tersebut. Beberapa ahli psikologi mengaitkan ini dengan “post traumatic syndrome”. Sehingga, endingnya nanti membutuhkan penanganan yang serius. Tinggal guru sekarang, apakah ingin anak didiknya nanti menjadi anak yang terdidik dan moral atau ingin anak didiknya menjadi gedibal?