Pilihan Kuliah atau Keterpaksaan?

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Kali pertama mendaftar di perguruan tinggi saya pun bingung harus memilih jurusan apa. Sementara jurusan yang tersedia tinggal beberapa saja yang masih buka itupun karena kekurangan mahasiswa. Sebut saja jurusan yang sepi peminatnya Bahasa Indonesia dan Biologi (FKIP), sosiologi dan kesejahteraan sosial (FISIP), Ilmu Perikanan (Fakultas Peternakan dan Perikanan), D3 Akuntansi (Fakultas Ekonomi), dan D3 elektronika (Fakultas Teknik).

Di depan loket pendaftaran mahasiswa baru yang hanya ditunggui oleh satu orang, yang belakangan saya ketahui dia adalah mahasiswa semester akhir yang part time daripada waktunya terbuang sia-sia terkantuk-kantuk di tangga depan jurusan atau menunggu jadwal bimbingan skripsi satau atau dua minggu sekali karena kesibukan dosennya. “daripada banyak waktu luang lebih baik ikutan part time dik” jelasnya memberikan penjelasan tentang dirinya.

Di depannya, saya masih bingung menentukan pilihan jurusan yang harus saya ambil. Referensi tentang masing-masing jurusan pun tidak saya ketahui sebelumnya. Maklum di desa mungkin saya termasuk salah satu dari sekian orang yang kuliah. Karena keterbatasan info itulah, saya memilih Ilmu perikanan dan pilihan kedua Bahasa Indonesia. Sejak SMA, saya nggak punya cita-cita neruskan kuliah, apalagi jadi guru. Barangkali ada benarnya, menjadi guru bukan pilihan pertama. Tetapi untuk membesarkan hati para guru sebut saja bahwa “di dunia ini hanya ada dua pekerjaan, yaitu Guru atau bukan Guru”.

Lega rasanya saya bisa memilih dari beberapa pilihan sulit, namun kondisi ini tidak berhenti di sini saja. Ternyata malam harinya, pikiranku melayang-layang memikirkan sebuah keputusan masa depan yang tadi pagi saya ambil. Kenapa saya memilih ilmu perikanan? Padahal, sejak kecil saya sudah belajar tentang perikanan di kampong meskipun secara otodidak. Bapak yang seorang nelayan itu telah mengajariku bagaimana caranya mengambil dan menangkap ikan di sela-sela kesibukan saya sebagai pelajar SD yang sok rajin dan hamper tiap minggu Bapak mengajakku ke laut. “lalu mengapa saya memilih jurusan perikanan?”

Pagi harinya, saya lantas bergegas menuju loket pendaftaran mahasiswa baru di kampus, dengan harapan saya bisa merubah pilihan jurusan yang telah saya pilih semula. Ternyata keinginan saya ditanggapi dengan positif oleh petugas pendaftaran MABA. Senang rasanya bisa merubah pilihan itu. Lantas, saya memilih jurusan apa? Pertanyaan yang sama muncul, “saya memilih jurusan apa? Jurusan-jurusan yang tidak banyak dilirik oleh calon mahasiswa baru” Ilmu perikanan saya coret, tinggal pilihan kedua Bahasa Indonesia.

Pertaruhan pilihan antara kuliah dan tidak bagaimanapun juga harus dijalani, pilih ini salah pilih itu juga salah. Tapi saya sudah terbebas dari pilihan pertama, yaitu ilmu perikanan, tinggal menganalisis saja sisanya. D3 akuntansi dan D3 elektronika tidak mungkin, kenapa? Karena dari awal saya ingin kuliah S1. Pilihan semakin mudah,karena tinggal Biologi, Sosiologi, atau kesejahteraan sosial? “Masih ingat waktu SD, milih nggak milih tetap harus dikumpulkan! Dikerjakan anak-anak, selesai tidak selesai juga dikumpulkan!”

Sekarang, saya coba pilih sosiologi dan kesejahteraan social (kesos). Itu secara sustainability learning kurang pas, karena waktu SMA saya dari IPA karena dulu senang hitung-hitungan. Senang ngitung kalo pas tanggal agak tua, kiriman orang tua habis, ngitung hutan ke teman-teman yang sudah waktunya bayar. Dan ngitung biaya kos yang juga belum bayar. Jadi, kayaknya tidak mungkin saya pilih Kesos dan sosiologi.

Walhasil, aku pilih jurusan Biologi meskipun ia bukan pelajaran yang saya sukai sejak SMP dan SMA. Hamper setiap kali ulangan saya tidak pernah mendapat nilai 7, paling maksimal hanya 6 itupun sering dikurangi karena salah koreksi. Dasar sudah menjadi watak guru, pinginnya tugas koreksian cepet seleksi. Hasilnya? Bisa lihat sendiri, saya yang kebagian jadi korban.

Dengan memilih Biologi, saya optimis nanti saya bisa mengalahkan ketakutan pada Biologi, pelajaran hapalan, soal-soal yang sulit. Bahkan saya masih ingat pengakuan dari guru Biologi SMA saya waktu itu, bahwa ia maksimal ngerjakan soal yang dibuatnya hanya 80%. Gurunya saja 80% apalagi muridnya seperti saya? Padahal saya menganggap beliau adalah orang yang cerdas, tapi kenyataannya …… ya memang cerdas J

“Mudah-mudahan pilihan saya ini sesuai dengan harapan. Setelah lulus nanti Bapak dan Emak akan bangga lihat anaknya jadi guru. Bapak yang hanya tujuh hari mengenyam pendidikan SD, Emak yang hanya 3 tahun di SD tentu akan bangga kelak jika anaknya lulus”

Sembilan tahun kemudian, benar juga pilihan saya bahwa saya menjadi guru SD sesuai dengan jurusan yang saya pilih secara gambling. Dari beberapa sejarah menjadi guru saya selalu di terima di sekolah-sekolah favorit dan terkenal. Lantas apakah itu memang harapan dan cita-citaku? Apakah saya akan jadi guru selamanya? Kita tunggu skenario dari “SING NGECET LOMBOK”

Sengata, 13 April 2008

Salam,

Sismanto

http://mkpd.wordpress.com