Segera Menikahkan Anak

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Tidak segera menikahkan anak-anaknya padahal mereka sangat membutuhkan dan punya kemampuan adalah tindakan orang tua yang kurang terpuji. Sebagian orang tua (ayah) ada yang tidak mau menyegerakan untuk menikahkan anak-anaknya, padahal mereka amat berkeinginan untuk menikah, sedangkan orang tua mampu untuk menikahkan mereka. Hal ini dapat menyebabkan anak-anak menyeleweng dan menyimpang dari jalan yang lurus, disamping akan tergoda berbagai macam fitnah dan rayuan-rayuan yang merugikan.

Menunda untuk menikahkan anak-anak perempuannya dan ‘membisniskan’ mereka. Sikap semacam ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebagian orang tua sengaja memperlambat pernikahan anak-anak perempuannya, terutama bila anak perempuannya itu seorang guru atau seorang pegawai yang karenanya orang tua mendapatkan sebagian dari kebutuhan duniawi. Sebagian orang tua ada juga yang ‘membisniskan’ anak perempuannya dengan cara menunggu laki-laki yang bersedia menikahi anak perempuannya dengan maskawin yang sangat mahal. Perbuatan semacam ini merupakan tindakan kriminal terhadap anak perempuan. Bahkan, laki-laki yang mau meminang anak perempuannya itu sudah berputus asa dan tidak lagi berhasrat. Dengan demikian, orang tua menanggung dosa mereka (anak perempuannya).

Pun demikian, bagi orang tua yang mempunyai anak perempuan yang masih kuliah, orang tua dapat menikahkan anak perempuannya tanpa harus menunggu kuliahnya lulus. Pernikahan model ini biasanya dikenal dengan istilah pernikahan dini. Karena, anak perempuan dianggap oleh masyarakat masih bau kencur belum waktunya menikah. Padahal kesiapan menikah secara fiqih paling tidak diukur dengan tiga hal, yang terpenting anak dapat memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.

Pertama, kesiapan jima, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar), pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum nafkah, thalak, dan ruju’. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa färdhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum hukum perbuatan yang sehari-hari dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.

Kedua, kesiapan materi. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (QS An Nisaa : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok/ primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan papan (QS Al Baqarah: 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Dan ketiga, kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten.

Bagi mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib, selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai terperosok kepada perbuatan haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada menikah.

Alasan lain, mengapa orang tua tidak segera menikahkan putrinya adalah mencari calon pasangan yang sekufu (sepadan). Banyak orang tua yang tidak berkeinginan untuk menikahkan putrinya dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Bahkan, mereka berkeinginan menikahkan putrinya dengan laki-laki yang berkedudukan, pejabat, hartawan, atau menikahkan putrinya dengan keluarga dekat tanpa melihat (memperhatikan) agama dan akhlaknya. Sudah pasti tindakan demikian merupakan kesalahan, kekeliruan, pengabaian, dan menyia-nyiaan amanat.

Ketika hendak berangkat menikah, yang terbesit dalam hati barangkali adalah kerinduan untuk memiliki anak shaleh-shalehah yang berbakti kepada-Nya. Inilah anak yang dirindukan oleh setiap pasangan suami istri. Anak yang shalih yang mendo’akan ketika para pelayat telah selesai menimbunkan tanah di pekuburan kita.

Kerinduan untuk memiliki anak yang herbakti kepada-Nya sejak kita berkeinginan untuk menikah, bukan saja boleh. Bahkan kita perlu membakarnya agar lebih meluap-luap lagi. Sehingga kerinduan itu membuat kita mempersiapkan diri. Kalau orang tua merindukan anak-anak yang demikian, mari kita dengarkan kata-kata Rasulullah: “Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya berbakti kepada-Nya,” sabda Nabi SAW. Beberapa orang di sekeliling Nabi bertanya: Bagaimana caranya, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, dan tidak membebaninya, tidak pula memakinya.”

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah bersabda, “Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya.” Siapa yang menghendaki, begitu Rasullullah yang mulia berkata, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya. Semoga tidak satupun di antara kita yang menghendaki anak-anak yang durhaka. Semoga tidak satu pun. Tetapi apa yang sudah kita lakukan? Sudahkah kita membantu anak-anak kita untuk berbakti sebagaimana yang diserukan oleh Rasulullah SAW?

Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing. Selanjutnya, marilah kita tengok sekeliling kita. Mereka yang frustasi dan memberontak pada orangtua, anak-anak siapakah itu? Mereka yang tertangkap saat meminum obat-obat terlarang, anak-anak siapakah itu? Mereka yang berkelahi dan saling menerkam, anak-anak siapakah itu? Mereka bukan orang lain. Di antara mereka adalah anak-anak orang Islam. Bapaknya Islam. Ibunya Islam. Dan kampung mereka dikenal sebagai kampung Islam. Mengapa ini terjadi?

Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing. Pada saat yang sama, marilah kita lihat apa yang terpancang di rumah-rumah saudara kita. Kalau dulu mereka mengisi saat-saat yang sepi dengan kidung barzanji atau maulid nabi, sekarang telah berganti dengan antena parabola dan pesawat televisi di atas 30 inchi. Kalau dulu mata yang maksiat ditangisi tak henti-henti, sekarang hiburan telanjang dihadirkan ke rumah-rumah orang “mukmin” melalui televisi dengan mengorbankan waktu-waktu produktif. Sementara, koran-koran menyajikan isu dan gosip yang tak jelas ujung pangkalnya lantaran semua telah berdiri di atas agama baru yang bernama bisnis dan konsumtivisme. Baju baru menjadi lebih berharga daripada harga diri, sehingga seorang gadis bersedia tidak perawan lagi demi memperolek gemerlap mode dan penampilan trendy.

Betapa banyak yang telah kita lupakan atau bahkan sengaja kita tinggalkan. Kalau dulu tetangga merasa ikut bertanggungjawab atas kebaikan anak tetangganya sehingga anak-anak berkembang dalam kesejukan, sekarang ketika orangtua mendapati anaknya nakal yang terucap adalah kata-kata, “Apa salah saya? Kenapa anak saya yang begini?” Padahal, perasaan tidak pernah menyakiti orang lain.” Kenapa anak saya yang begini? menyiratkan kesaksian hati untuk mengikhlaskan anak-anak orang lain rusak, asal jangan merusak anak sendiri. Sehingga ketika anak sendiri yang rusak, pertanyaan yang muncul adalah, “Kenapa anak saya yang begini? Kenapa bukan anak orang lain?”

Sengata, 23 April 2008