Sekelompok anak sedang berkumpul pada waktu istirahat di sebuah Sekolah Dasar Islam (SDI). Mereka begitu asyiknya menceritakan kejadian yang mereka alami ketika liburan yang lalu. Salah seorang anak bercerita bahwa ia dapat menangkap burung yang berada di halaman depan rumahnya, temannya yang lain pun mengomentari yang sama dan menambahkan cerita yang tak kalah menariknya dengan yang diceritakan oleh temannya yang pertama tadi. Ia liburan di naik pesawat tempur dengan memegang kendalinya, padahal yang mengendalikannya adalah ayahnya yang juga sebagai pilot pesawat tenpur, ia hanya berdiri di belakang kopkit dan ia tidak berani mengendalikannya karena tidak bisa mengendalikan pesawat tempur. Namun ia menceritakan kepada teman-temannya bahwa dialah yang mengendalikan pesawat tempur itu.
Obrolan tersebut kurang lebih sering dilakukan oleh anak-anak, baik itu dengan cerita di atas atau dengan cerita yang lebih menarik sehingga anak begitu bersemangat dan menggebu-gebu menceritakannya. Padahal, jika dicermati sepintas bahwa cerita di atas ada benarnya, tapi juga ada setitik kebohongan yang diceritakan oleh anak-anak kepada temannya.
Sebagai orang tua dan guru seharusnya dengan segera dapat menyadari bahwa kata-kata anak itu merupakan suatu kebohongan. Sejak kapan ia berani mengendalikan pesawat tempur jika ia tidak memiliki keahlian mengendalikannya? Anak-anak yang biasa berbohong, terkadang kebohongan mereka terasa begitu lucu dan sepele. Namun ada juga kebohongan yang secara moral dapat dikategorikan sebagai suatu perilaku negatif. Mereka bebohong untuk berbagai macam alasan.
Alasan yang berikutnya adalah dikarenakan melindungi teman. Anto mengatakan pada ibunya bahwa ia telah menghabiskan semua kue di dalam kotak kue. Padahal ia membaginya bersama beberapa orang kawannya. Ia khawatir jika mereka tidak dibagi, ia tidak akan dipinjami mainan temannya.
Berbohong karena meniru orangtua. Anak akan melihat orang tua berbohong, misalnya jika ada seorang pengemis meminta sedekah. “Bilangin aja, lagi nggak ada uang!” Padahal ia tahu ayah dan ibunya masih menyimpan sejumlah uang. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam contoh ini adalah, pertama anak mengetahui bahwa orangtuanya berbohong. Kedua, orangtua menyuruh anak berbohong kepada orang lain. Sudah memberikan contoh yang tidak baik, kemudian menyuruh anak melakukannya. Sungguh suatu sikap yang buruk. Sikap ini mengajarkan anak agar tidak menghargai suatu kejujuran.
Alasan menghindari sesuatu. Anak jelas-jelas membantah tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya ia lakukan. Mungkin ia sengaja berbohong dan mengarang cerita agar terhindar dari hukuman akibat kesalahan yang dilakukannya. Sebaiknya orangtua mencoba mengevaluasi diri karena anak mungkin berusaha menghindari hukuman fisik yang mungkin sering diterapkan orang tua. Atau mungkin juga karena anak menghinari kritik atau cemoohan yang mungkin diterimanya jika ia melakukan kesalahan.
Alasan mengkhayal pada usia tertentu. Anak mengembangkan kemampuan berpikir secara abstrak, biasanya sekitar usia 4 tahun. Tiba-tiba anak mulai bercerita kalau ia melihat seekor hantu, seorang puteri kahyangan, peri yang cantik, atau hal-hal lain yang tidak masuk akal. Hal ini berarti anak mengembangkan kemampuannya berimajinasi. Kemampuan ini penting karena anak perlu memiliki kemampuan berpikir abstrak. Contohnya tentang konsep Allah dan Malaikat. Lantas apa yang seharusnya kita perlakukan kepada anak?
Sebagai orang tua, hendaknya sedini meungkin mendeteksi kebohongan anak, dan berilah pengertian dan pemahaman bahwa ia tidak sepatutnya berkata yang tidak sesuai dengan faktanya. Beberapa kemungkinan yang dapat dilakukan orang tua terkait dengan ini misalnya.
Pertama, sebagai orang tua dituntut untuk arif dan bijaksana. Bila orang tua mendapati anak berbohong, orang tua tidak boleh langsung marah-marah, mengadili anak dengan berbagai macam konsep dosa dan neraka. Atau menceritakan kisah fabel dengan pesan “moral kejujuran” agar anak tidak berbohong. Sebaiknya lakukan pendekatan kepada anak dengan hati-hati dan bersahabat. Kedua, cari tahu benarkah anak berbohong dan untuk apa ia berbohong. Tidak perlu marah-marah, bersikap menyelidik, menghakimi atau dengan mengancam. Jika anak merasa terancam, lain waktu ia tidak akan mengaku, bahkan akan berusaha mengarang kebohongan lain. Ketiga, Jika anak berbohong, beri pengertian kepada anak bahwa perilaku berbohongnya tidak disukai dan dapat berakibat buruk bagi dirinya dan orang lain. Keempat, kebohongan yang tidak bertujuan negatif tidak perlu diberi hukuman. Misalnya karena anak sedang berfantasi. Pada usia tertentu anak sangat asyik dengan dunianya yang penuh imajinasi, terkadang ia tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Misalnya jika ia bercerita tentang Malaikat yang mengajaknya terbang ke langit. Kelima, hukuman baru diberikan jika kadar dan akibat kebohongannya benar-benar parah. Namun jangan menghukum dengan hukuman fisik. Berikan hukuman yang mendidik misalnya berupa hukuman sosial, atau dengan memutus beberapa fasilitas anak. Misalnya dengan memberlakukan larangan menonton acara televisi kesukaannya atau memberikan tugas membersihkan kamar tidur. Keenam,kebiasaan berbohong pada anak dapat dikurangi dengan mempererat hubungan antar orang tua dan anak. Jika anak dekat dengan orang tua, ia akan lebih terbuka sehingga ada rasa saling mempercayai dan menghargai. Jadi, luangkan waktu orang tua untuk bersama anak-anak. Terakhir, salurkan kreatifitas dan kemampuan imajinasi anak untuk kegiatan-kegiatan positif. Misalnya bermain sandiwara, menulis cerita, menggambar bebas dan lain-lain.
Demikianlah dinamika kehidupan anak kita ketika menceritakan sesuatu, bisa jadi cerita yang dikemukakan oleh anak merupakan fakta. Dan jika ini terjadi kita kita sebagai orang tua patut bersyukur, namun bila kemudian terjadi sebaliknya. Maka, sudah menjadi perhatian para orang tua maupun guru di sekolah untuk mendeteksi sedini mungkin. Semoga anak-anak kita terhindar dari sifat bohong “katakan yang benar itu benar nak!” Wallahu ‘Alam bishowab. Sengata, 27 Mei 2008