Apriori yang berlebihan membuat saya buta akan potensi yang dimiliki oleh kelas saya. Dalam suatu kelas hendaknya ada hubungan yang sinergis antara guru (mewakili sekolah), siswa, dan orang tua (komite). Dan memang saya akui bahwa kelas saya ada hubungan yang sinergis. Namun, lagi-lagi apriori saya yang belebihan itulah yang kemudian menampakkan bahwa hubungan sinergis itu tidak begitu tampak. Bagimana saya bisa apriori dengan kelas saya? Awalnya kejadiaannya adalah pada awal bulan lalu manakala pihak sekolah megundang wali murid untuk memaparkan program sekolah, sosialisasi kegiatan belajar mengajar, sosialisasi kegiatan intra kurikuler, dan ekstra kulikuler. Saya sempat iri dengan wali kelas yang lain, kebanyakan orang tua yang diundang rata-rata hadir 60 sampai dengan 90 persen bahkan ada satu kelas yang orang tuanya hadir semua, “Bagimana tidak membuat saya iri?” sementara orang tua di kelas yang saya ampu hanya hadir lima belas persen. Dari tiga puluh lima orang tua siswa yang diundang hanya lima orang tua saja yang hadir. Padahal setelah acara sosialisasi program, kegiatan dilanjutkan dengan pembentukan komite kelas yang harus memilih minimal tiga orang tua sebagai ketua komite kelas, sekretaris, dan bendahara. Sengaja saya tidak mengajak orang tua siswa untuk menghias kelas guna perlombaan antar kelas dalam rangka memperingati tujuh belas Agustus. Saya sudah terlanjur apriori dengan wali murid, saya undang pun mereka tidak datang. Apriori saya sudah berada pada titik kulminasi bahwa saya undang pun mereka tidak akan datang. Ternyata pagi harinya saya melihat kelas saya sudah penuh dengan hiasan-hiasan bertema 17-an, Tanpa saya sadari mereka begitu care dengan kelas saya. Meskipun tidak menang dalam perlombaan menghias kelas. Tapi saya bangga pada mereka. Saya sadar saya salah atas apriori saya pada mereka, para orang tua anak didik saya. Apriori yang saya banggakan dahulu pudar sudah diterpa kasih sayang orang tua siswa pada saya. Saya akui, orang tua siswa di kelas tidak dapat dipisahkan dengan anak didik maupun dengan gurunya. Mereka bagaikan satu ikatan dengan yang lainnya. Bila satu ikatan itu tidak diikat, maka berkuranglah pegangan/kekuatannya. Pun demikian, manakala saya tidak mengambil ikatan itu, maka ikatan yang ada tidaklah begitu kokoh. Dan saya sadar, semakin saya membanggakan apriori saya pada orang tua, maka ikatan itu tidak akan kokoh. Sekaranglah waktunya, ikatan demi ikatan itu saya bina bersama wali murid, anak didik saya di kelas dengan harapan kami menjadi ikatan yang utuh, kuat, dan kokoh. Sangatta, 27 Agustus 2008