Aku Hanyalah Anak Nelayan Penulis: Sismanto Mentari pagi menampakkan sinarnya yang terang, ketika seorang bocah laki-laki yang masih duduk di bangku SD kelas II bersama Bapaknya mencari ikan di laut. Siapapun tahu bahwa bocah seumur itu belum waktunya untuk mencari nafkah. Tiga jam sudah kedua makhluk itu berayun-ayun di atas perahu kecil di tengah lautan demi mencari sesuap nasi. Deburan ombak yang menggunung menghantam ke kanan kiri sisi perahu yang ia tumpangi, tak terasa perahu yang ditumpanginya seakan-akan ditelan oleh ganasnya ombak lautan utara Jawa. Hanya semangat yang kuat disertai pasrah kepada-Nya yang membuat mereka berani menapakkan sedikit demi sedikit perahu yang mereka tumpangi menuju tengah lautan. Mereka berangkat sebelum suara adzan subuh membangunkan penduduk kampong nelayan, meraka kelaut sebelum orang-orang berkumpul di masjid untuk menunaikan sholat jamaah subuh. Minggu itu sebenarnya Bapaknya ingin libur kerja, tidak berangkat ke laut. Bapaknya ingin sekali berlibur di hari Minggu seperti layaknya pegawai-pegawai kantaron. Bapak berpamitan kepada angin timur yang dianalogikan dengan banyak ikan, pamit kepada bintang gubuk penceng tempat kami bisa membedakan mana lautan dan mana daratan. Dan pamit kepada Bu Sarti penjual nasi di waktu subuh yang biasanya dibelinya ketika akan pergi melaut bahwa hari itu Beliau tidak pergi melaut. Sekembalinya dari warung makan Bapak langsung pulang ke rumahnya untuk menikmati libur satu hari yang akan dijalaninya. Ia tatap wajah bocah SD yang masih lugu terbaring di ranjang, ia usap pipinya dan dicium keningnya. “Nak, bangun…bangun, ayo kita berangkat ke laut!” Ternyata Bapak berubah pikiran, Beliau tidak libur hari itu dan dengan gigihnya mengambil perlengkapan melaut sembari menunggu anaknya yang masih susah dibangunkan. Bocah kecil yang masih belum tahu mengapa ia diajak pergi itu lantas menayakan kepada Bapaknya. “Bapak, mengapa saya yang masih kecil ini diajak melaut?” suara bocah itu lirih memberanikan diri dengan sekuat tenaga. “Nak, bapakmu! dulu, sekarang, dan di masa depan selalu menggantungkan hidup dan berpenghasilan dari hasil laut. kemampuan yang bapakmu miliki hanyalah melaut tidak ada yang lain, Bapak tidak berjiwa enterprenur atau berpendidikan yang kerjanya selalu menggantungkan selembar ijazah yang dimiliki. Rela untuk mengetuk pintu kantor satu ke pintu kantor yang lain untuk menanyakan apakah di kantor ini menerima lulusan S1. Bapakmu memeras keringat di tengah teriknya matahari yang panas menghitamkan kulit yang memang sudah hitam legam juga dari laut. Makanya, Bapak ingin mengajarimu bagaimana menghadapi kerasnya hidup di dunia ini dengan belajar dari dekat. Toh, nanti jika kelak kamu besar sudah menghidupi anak dan istrimu juga dari hasil laut apabila kamu tidak mendapat pekerjaan yang layak di darat”. Bocah itu lantas terdiam mendengar perkataan dari orang yang sangat dia hormati. Bapaknya yang jarang sekali bicara, bahkan tidak hanya kepada anak-anaknya dengan orang-orang sekitar pun dia jarang berucap. Sampai-sampai semua anggota keluarga dan tetangga sekitar merasa sungkan apabila berjumpa dengannya. Sungguh berbeda dan kontras sekali dengan anaknya. Orang yang tidak lulus sekolah dasar dan memang kebanyakan masyarakat pesisir nelayan jarang menyelesaikan pendidikan dasar kala itu. Bapaknya hanya tujuh hari mengenyam pendidikan SD, meskipun tidak tamat sekolah tidak ingin anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan. Apapun beratnya menempuh hidup, pendidikan anaknya selalu diutamakan. Ada suatu fenomena menarik yang kerap terjadi setiap kali bocah itu diminta untuk memperkenalkan diri dalam sebuah forum. Baik itu dalam forum formal atau tidak. Biasanya dalam sebuah perkenalan, semua orang akan menyebutkan sejarah nama, profesi, maupun jabatannya Sejak menjadi guru SD bocah itu tidak pernah menyebutkan bahwa dia adalah guru SD, namun sering menggunakan istilah “anak nelayan”. Justru ketika bocah itu menjadi guru di sekolah dasar ia tidak lagi menyebutkan istilah “anak nelayan”, tetapi dia katakan dengan bangga bahwa “Aku hanyalah anak nelayan”. Lima puluh tahun lebih kata-kata itu diucap ulang, namun terasa baru kemarin bocah itu mendengarnya. Ketika semua orang lupa akan sejarahnya, ketika Soekarno mengingatkan masa-masa sulit penjajahan dan ketika itu pula bocah itu ingat akan masa-masa di mana ia bergelut dengan ombak, ganasnya kehidupan lautan dan kerasnya mencari sesuap nasi di sana. Maka ia sadar, dari sanalah bocah itu seperti sekarang ini. Tentu bocah itu masih ingat ketika Bapaknya yang mengajaknya kini sudah tidak mampu lagi menyalakan mesin karena usianya yang sudah beranjak senja, tenaganya sudah tidak sekuat seperti dulu lagi, tapi semangat untuk mencari nafkah untuk keluarganya patut untuk ditiru anak-anaknya. Bocah itu sadar bahwa takdir kehidupan bagi Bapaknya tidak bisa diubah lagi untuk menjadi seorang nelayan. Sengata, 14 April 2008
Suatu pilihan yang harus mereka jalani antara menyerahkan diri kepada-Nya di masjid-masjid dengan nilai-nilai spiritual yang tidak bisa dinilai dengan angka-angka nominal atau memilih melaut untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Padahal, berangkat melaut pun bisa dilakukan setelah sholat jamaah di masjid. Tapi, memang sudah menjadi kebiasaan penduduk kampung nelayan melaut di pagi buta sebelum suara Tuhan menggema di kampung tersebut.
Hampir setiap hari Minggu ketika liburan sekolah bocah kecil itu di ajak Bapaknya ke laut. Hari Minggu biasanya adalah hari yang dinantikan oleh anak-anak seusianya, karena mereka akan liburan sekolah dan bermain dengan riang bersama teman-teman seusianya. Main petak umpet, bermain kelereng ataupun bermain layang-layang. Namun, tidak bagi bocah SD itu yang hanya pasrah melawan kehendak Tuhan dengan mediasi Bapaknya untuk ikut ke laut.
Barangkali Bapak iri dengan pegawai kantoran, di saat pegawai kantoran punya hari libur di tengah kepenatan kerja. Ada yang hanya lima kerja seperti pegawai negeri di negeri ini, satpam dengan sistem rotasi siang dan malam yang gentian jaga dengan temannya mereka hanya empat hari kerja dua hari libur, atau paling banter enam hari kerja dan satu hari libur. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para nelayan mereka tidak mempunyai hari libur tetap dan selalu melaut di saat pegawai kantoran libur, kalaupun libur itu pun terjadi jika hari raya atau harga BBM tidak sesuai dengan hasil tangkapan.
Tampaknya keinginan laki-laki paruh baya itu menjadi kini menjadi kenyataan. Anak yang biasa ia ajak hampir setiap hari Minggu, anak yang masa kecilnya tidak banyak bermain lantaran di hari liburnya dihabiskan di tengah laut itu sekarang menjadi anak yang berpendidikan seperti yang bapak cita-citakan. Dialah laki-laki pertama yang menyelesaikan pendidikan master di kampungnya. Di kala masih banyak stigma buat apa sekolah tinggi, toh nanti akan kembali ke laut juga. Agaknya, stigma itu mulai beranjak hilang di telan oleh waktu.
Dari kehidupan nelayanlah bocah itu bisa menjadi seperti sekarang, bisa tahu tentang diri sendiri, tahu tentang sejarah sendiri dan keluarganya. Tampaknya benar juga yang dikatakan Ir. Soekarno, sang proklamator RI kala itu ketika memberikan amanat kepada rakyatnya “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”.