Meremehkan Kemampuan Anak

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Orang tua selalu dihadapkan pada kondisi yang selalu dinamik, di satu sisi mempunyai cita-cita ideal pada anaknya, sementara di sisi lain anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan cita-cita ideal orang tuanya. Misalnya, keinginan orang tua tidak ditanggapi positif oleh aksentuasi perilaku anak. Orang tua kita menginginkan agar minimal anak menjadi guru bagi dirinya sendiri terlebih lagi menjadi guru bagi orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Secara perilaku adalah wajar, parahnya lagi keinginan anak tersebut tidak disukai dirinya sendiri sehingga menjadi beban psikologis tersendiri baginya. Keinginan anak saja sudah pilihan sulit ditambah lagi pilihan dari orang tuanya yang ingin ini dan itu, apalagi ditambah lagi orang tua yang meremehkan anak-anak dan sedikit memberikan dorongan dan anjuran kepada mereka.

Misalnya saja, berusaha menyuruh mereka diam manakala mereka lagi asyik berbicara. Bahkan mereka selalu diejek, begitu pula obrolan mereka juga senantiasa diperolok-olok, yang hal itu menyebabkan anak kurang mempunyai kepercayaan pada dirinya, ia kurang berani berbicara apalagi mengeluarkan pendapat. Mencaci maki mereka apabila melakukan kesalahan. Mengumpat-ngumpat mereka apabila mereka gagal dan kalah. Sedangkan, ayah merasa bangga dan sombong dengan berbuat seperti itu. Dengan demikian, ada jarak psikologis antara kedua belah pihak sehingga tidak mungkin lagi si ayah dapat mempengaruhi anak-anaknya.

Parahnya lagi, mengejek mereka bila mereka istiqamah (konsekuen dalam agama). Sikap ini merupakan fenomena pelecehan yang paling berat. Oleh karena itu, Anda dapati ada di antara orang tua yang suka meremehkan anak-anaknya apabila di antara mereka itu ada yang bertakwa, berperilaku baik, shaleh, konsekuen dalam beragama, dan mendapatkan Hidayah (dari Allah), sehingga anak-anak tersebut sesat dan berbalik haluan. Akibatnya, setelah peristiwa itu mereka menjadi beban atas diri ayah dan sebagai penyebab timbulnya berbagai bencana buat dia.

Tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengoreksi dan mengadakan perubahan yang lebih baik. Ada orang tua yang memarahi anaknya hanya karena kesalahan dan kekeliruan yang sepele. Bahkan, bisa jadi orang tua tidak dapat melupakan kesalahan itu. Apabila si anak mencuri, ia dipanggil dengan panggilan “hai pencuri”. Apabila ia berdusta ia dipanggil dengan sebutan “wahai pendusta”. Seolah-olah kesalahan-kesalahan tersebut merupakan pukulan keras yang tidak mungkin dapat pudar dan merupakan tanda keaiban yang tidak kunjung sirna. Dari sini si anak itu berkembang, sedangkan pada dirinya tertanam perasaan bahwa ia adalah pencuri atau pendusta. Dengan demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari aibnya, disamping ia tidak mendapatkan orang yang dapat membantu mengatasi masalahnya itu juga melawan aib sebagai biang masalah dalam keluarga.

Jika masalah ini terus berlarut-larut bisa jadi anak akan minder menghadapi hidupi, berada dalama lingkungan teman-teman sepermainan, berada di lingkungan keluarga, dan masyarakat. Beban yang harus anak tanggung sepanjang hidup lantaran pemberian pendekatan pendidikan yang salah kaprah.

“Wahai, orang tua berilah kami teladan yang baik, didiklah saya dan mereka atas hal-hal yang positif yang menjadikan hal itu sebagai bekal saya kelak menghadapi kerasnya hidup, menjadi bekal bagi saya untuk mendidik anak-anak saya menuju jalan-jalan yang diridhai Nya. Dan janganlah mendidik saya dan mereka atas perbuatanyang rendah, kata-kata yang jelek, dan akhlak yang tidak terpuji, seperti memberi dorongan kepada mereka untuk gemar datang ke gelanggang olah raga, meniru-niru perbuatan orang-orang kafir, membiasakan anak-anak perempuan mempunyai pakaian pendek, melontarkan kata-kata kasar, jorok dan kotor yang disebabkan orang tua sering kali bahkan berulang-ulang menggunakan kata-kata tersebut. Atau, melalui panggilan anak-anaknya dengan julukan yang jorok sehingga si anak terbiasa dengan panggilan-panggilan semacam itu dan tidak lagi mau memperhatikan etika berbicara”.

“Wahai orang tua, sebenarnya saya dan anak-anak yang lain mampu melakukan yang yang diinginkan oleh orang tua, merealisasikan keinginan ideal mereka, dan nantinya saya dan anak-anak yang lain akan menggantikan mereka meneruskan kebanggaan keluarga. Yang saya dan anak-anak yang lain inginkan agar orang tua-orang tua tetap memberikan kasih sayang kepada para anak-anaknya, mendidik dengan keteladanan mereka, dan yakinlah suatu saat nanti dengan hidayah Allah SWT saya dan anak-anak yang lain akan membalas kebaikan mereka meskipun bukan secara materi, entah itu sekarang atau nanti. Yakinlah!” Amin amin ya rabbal alamin.