Ucapkan Permisi Nak!

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Ucapkan Permisi Nak!

Penulis: Sismanto

Email: sirilwafa at gmail dot com

Hari Minggu, satu minggu yang lalu baru kali ini saya mengikuti kegiatan salah satu ormas yang dulu pernah saya ikuti. Secara dua tahun saya vakum kegiatan ke-ormas-an selama menjadi guru di Sangata. Acaranya cukup sederhana hanya sunatan masal dan pembagian sumbangan beasiswa bagi anak-anak yang berada di panti asuhan. Namun, saya melihat spirit yang luar biasa yang dilakukan oleh ormas tersebut.

Kali ini kebiasaan saya kambuh lagi, terlambat menghadiri acara tersebut. Bukan maksud hati melambatkan diri namun lebih didasarkan ketidaktahuan saya atas kegiatan tersebut. Ya maklum saja, sebenarnya saya iseng bermain ke tempat salah satu kolega yang menjadi dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Sangata (STAIS), namun sesampainya di sana keinginan untuk sharing dan brainstorming tentang pendidikan tidak sempat kami lakukan. Beliau malah mengajak saya ke suatu tempat kegiatan sunatan masal dan pembagian beasiswa bagi anak panti asuhan yang belakangan saya ketahui bahwa itu adalah kegiatan ormas yang dulu pernah saya ikuti.

Kebetulan kami salah mengambil jalan, yang seharusnya dari belakang ke depan. Kami malah mengambil jalan dari depan ke belakang, yang seharusnya saya mengambil jalan dari depan panggung, kami malah berada di belakang panggung sehingga kami duduku di jajaran kursi paling depan bersanding dengan para pejabat ormas tersebut. Saya hanya diam mengamati kegiatan dan mengikuti berbagai rangkaian kegiatan yang diselenggarakan ormas tersebut. Dengan berada di kursi depan saya banyak melihat banyak anak-anak seusia SD yang berlalu lalang di depan saya tanpa memberikan komentar atas kegiatan dan lalu lalang anak-anak. Bagi saya, cukup menjadi penonton saja hari itu.

Anda pasti bisa membayangkan hadirin yang ada saat itu sangatlah banyak dan berjubel. Saya termasuk orang-orang yang berjubel itu – berada di kursi bagian depan, meski ormas ini bisa dibilang minoritas untuk ukuran Sangata. Namun kegiatannya sangatlah saya apreasiasi.

Hari Minggu adalah hari libur bagi guru. Pun demikian dengan saya libur yang kebetulan libur kali ini termasuk “long week end”- libur tiga hari berturu-turut, mulai hari Sabtu, Minggu, dan Senin. Namun saya tidak melepaskan jubah kebesarannya saya sebagai seorang guru meski tanpa seragam guru saya menghadiri acara tersebut. Meski hari libur, naluri seorang guru tentu tidak akan tega bila melihat seorang anak seusia anak didik saya berjalan melewati dan kemudian melompati para orang-orang dewasa dan bahkan bisa dibilang sudah sepuh untuk ukuran manusia. Anak-anak tanpa mengucapkan permisi untuk meminta jalan kepada orang-orang yang ada di situ, main nyelonong sebelum kemudian naik ke panggung menerima sumbangan beasiswa yang diberikan panitia.

Asumsi saya hanya ada dua mengapa anak-anak itu tidak mengucapkan permisi? Pertama, anak-anak terlalu girang dan senang sampai melupakan pelajaran akhlak yang dia terima di sekolahnya bahwa ketika meminta jalan kepada seseorang harus menggunakan kata permisi dan asumsi saya yang kedua semoga saja tidak benar bahwa anak-anak memang tidak mendapat pelajaran akhlak di sekolahnya, atau barangkaloi pelajaran akhlak tidak diberikan di sekolah pertamanya, yakni dalam pendidikan keluarga. Semoga saja asumsi saya yang kedua ini salah.

Permisi bukanlah kata asing bagi anak didik bila kita membiasakan diri membiasakannya untuk mengucapkannya. Kata ini tidaklah sulit untuk dilafalkan, namun kenyataannya sangat tidak kebanyakan anak yang menggunakannya. Saya jadi teringat ketika saya SD dulu, saya sempat diitegur oleh ibu ketika tidak mengucapkan “permisi” di depan ibu-ibu fatayat yang kebetulan mengadakan kegiatan bulanan di rumah. Saat itu saya berjalan melewati kerumunan kumpulan fatayat yang sedang asyik melakukan ritual bulanan, saya melewati dan melompati satu per satu para fatayat itu tanpa mengucapkan kata permisi sebelum keluar rumah. Hasilnya bisa dilihat, saya kena semprot habis-habisan orang tua tidak mengucapkan permisi.

Sekarang, permisi tidaklah asing bagi saya secara saya kerapkali menggunakan kata itu. Saya membiasakannya mengucapkan kata permisi bila melewati orang di depan saya meski saya tidak mengenalnya. Bagi Anda, ajarilah anak-anak SD yang belum mebiasakan dirinya mengucapkan kata “permisi” agar kelak ketika dia dewasa akan membiasakan dirinya menggunakan kata permisi. Mari kita ajarkan permisi kepada anak-anak kita, kepada anak didik kita bila Anda seorang guru.

Bagi seorang guru memang mudah mengajarkan “Ucapkan Permisi Nak!” kepada anak didiknya, tapi tidaklah mudah bila mendidik mengucapkan permisi itu sehingga menjadi kebiasaan anak-anak.

Sangata, 27 Januari 2009

Suatu malam di Hotel Lumboe