Sangatta, Sangat Banyak Cerita

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Beberapa waktu yang lalu saya sempat menuliskan mimpi tentang Kota Sangata di sebuah buku antologi yang garis besarnya ketidaktahuan saya akan kondisi Sangatta. Sangata, kota kecil yang diapit dua Taman Nasional Kutai (TNK) dan Taman Nasional Muara Wahau. Kota dengan tambang batu bara terbesar yang dikelola PT. Kaltim Prima Coal (KPC). Sangata merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Kalimantan Timur. Kota ini dikenal dengan julukan kota tambang. Bila di Sangata lama awalnya ada tambang minyak, di Sangata baru ada tambang batu bara yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi sejak tahun 1987.

Judul        : Sangatta, Sangat Banyak Cerita

Penulis     : FLP Sangatta

Halaman   : 108 hlm + iv

Penerbit    : Indie FLP Sangatta

Kota Terbit : Sangatta

Terbit       : Pebruari, 2009

Menurut catatan Wikipidia, Sangata merupakan sebuah kota kecil yang dijadikan ibu kota kabupaten kutai timur, yang merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran dari kabupaten kutai yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 tahun 1999, tentang pemekaran wilayah provinsi dan kabupaten. diresmikan oleh menteri dalam negeri pada tanggal 28 oktober 1999 dengan luas wilayah 35.747,50 km², kutai timur terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat diantara 115°56’26”-118°58’19” bt dan 1°17’1″ ls-1°52’39” lu. Kutai Timur memiliki keadaan topografi yang bervariasi, mulai dari daerah dataran seluas 536.200 ha, lereng bergelombang (1,42 juta ha), hingga pegunungan (1,6 juta ha), tersimpan potensi batu bara 5,35 miliar ton.

Sebagai kota tambang batu bara, batu bara di Sangata muncul ke permukaan bumi dan bahkan membentuk bukit-bukit batu bara yang tinggal dipoles sedikit lalu tinggal mengeruk batu baranya. Para karyawan yang bekerja di pertambangan batu bara Sangata bekerja 8 jam dengan dibagi menjadi 3 shift. Lama kerja yang seperti ini sesuai dengan aturan Undang-Undang Ketenagakerjaan, 3 dikalikan 8 jadi 24 jam, genap sehari semalam eksploitasi tambang itu tidak berhenti, sungguh pemandangan yang lagi-lagi paradoks. Yang lebih parah lagi, jam kerja ada yang 12 jam dan hanya menggunakan 2 shift. Saya juga menemui pemandangan yang sama ketika melakukan perjalanan ke arah Batu Putih – Tanjung Bara (10 km dari pusat kota). Kompleks pemukiman bagi kalangan elit, borjuis, dan eklusif yang bekerja di salah satu perusahaan terkenal di Kota ini. Perbukitan menjadi gundul akibat proses penambangan yang dilakukan 24 jam nonstop.

Beberapa hari kemudian, ada secercah harapan akan pertanyaan itu ketika saya bertemu dengan seorang penulis di Kota Sangata ini. Dia sedikit banyak memberikan gambaran mimpi saya tentang Sangatta. Nampaknya, mimpiku ini butuh seorang penafsir mimpi seperti tafsir mimpinya Nabi Yusuf ketika di penjara. Yusuf bisa memahami dan mengartikulasikan setiap mimpi sesorang menjadi sebuah kenyataan, saya butuh tafsir mimpi seperti yang ada dalam kitab “Ta’birur Ru’ya”. Sehingga, tiap-tiap jengkal mimpiku ini menjadi kenyataan.

Kini bertambah pengetahuan saya tentang Sangata, bertambah lagi satu bacaan yang saya baca di Sangata dengan diterbitkannya buku kumpulan Antologi FLP Sangatta “Sangatta, Sangat Banyak Cerita”. Sehingga, bertambah pula kepahaman saya akan mimpi yang sedang saya rajut di sangata. Saya hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam mulai dari kata pengantar sampai dengan terakhir untuk membaca buku ini. Secara ketebalan buku dan gaya penulisannya yang memang sederhana sehingga mudah dicerna sebagai menu bacaan. Beberapa kalimat sering saya lompati karena gaya bercerita yang datar dan monoton, tapi secara keseluruhan gaya berceritanya enak dibaca.

Kumpulan antologi buku ini sangat membantu bagi para pendatang baru yang ingin bermukim di Sangata atau hanya sekedar ingin tahu tentang apa dan bagaimana Sangatta? Tidak kurang dari sembilan belas penulis yang berkontribusi dan punya andil besar dalam penyusunan buku ini. Dari kesembilan belas penulis itu ada pula yang berasal dari siswa sekolah menengah pertama (SLTP), Sekolah menengah lanjutan (SMA) dan beberapa lainnya kebanyakan adalah ibu rumah tangga.

Dan bila dibaca dengan seksama, maka banyak keceriaan yang saya dapat dari buku ini. Terkadang saya tersenyum kecil atau terkadang mengernyitkan alis saya tanda setuju atas tulisan yang disampaikan oleh para penulis meskipun dengan gaya penulisan yang sederhana. Misalnya kegelian saya temukan pada tulisan “Mitos Sangata” tulisan arif Wibowo, selama membaca karya sastra yang diterbitkan para penulis FLP saya belum pernah menjumpai model tulisan seperti ini. Dan saya memang tersenyum geli bagaimana bisa tulisan yang berbau mitologi masuk dalam tulisan FLP, atau memang saya yang salah dalam menangkap maknanya? Biasanya FLP tidak menerima tulisan-tulisan yang berbau tahyul maupun klenik namun sisi gagasan tulisan yang disampaikan mengalir dan enak dibaca (hal. 56-58).

Ada juga yang membuat saya tertarik untuk membaca setiap jengkal kata demi kata tulisan “Monster Sangata” tulisan dari Mardiyanto Alif. Sebelum membaca buku ini saya selalu bertanya-tanya apakah benar di Sangatta ada “monster”? dalam tulisan itu Arif menceritakan tentang monster sangata-seekor buaya jantan yang  panjangnya kurang lebih tujuh meter lebih besar dari buaya pada umumnya. Monster sangata ini pernah menggegerkan warga Sangata karena buaya ini memakan salah seorang siswa sekolah menengah pertama yang kebetulan berekreasi di daerah Kenyamukan – 7 km sebelah timur arah Kota Sangata. Sekarang, buaya ini dimuseumkan di “Museum Kayu” di Tenggarong Ibu Kota Kutai Kertanegara.

Sebagaimana tertulis dalam cover belakang buku ini, Sangata merupakan kota yang unik, sehingga memberikan hasrat keingintahuaan bagi setiap orang yang ingin mengenalnya. Insting ingin tahu selalu bergerak namun banyak mimpi yang terajut dalam dinamikanya. Mimpi milik setiap orang yang ada di kota ini, mimpi yang begitu sederhana karena memang setiap impian bukan tidak mungkin untuk diwujudkan. Bagaimanapun juga, Sangatta mempunyai sesuatu yang tidak ada di tempat lain.

Secara umum gaya penulisan dalam antologi ini datar, terkesan deskriptif, dan kurang inspiratif. Tapi ada beberapa tulisan yang sangat inspiratif seperti tulisannya Junius Andarias K.W. yang berjudul “Kotaku, Kota Sangata” meski penulisnya masih Sekolah Menengah Atas (SMKN Sangata) tapi tulisannya inspiratif, berbobot, dan sarat makna. Ada juga tulisan serupa yang ditulis Yunny Touresia “dan, di Sangata Juga”, saya beberapa kali membaca karya penulis satu ini, dan saya semakin terpana dengan tulisannya. Tulisan berikutnya yang membuat saya terispirasi adalah “Sangatta bagi Seorang Laki-Laki” tulisan dari Rien Hanafiah, Ketua FLP Cabang sangata ini menuliskan dengan lembut dan halus untaian kata-katanya. “Kutemukan Cinta di sangata” tulisan dari Hikmah agak berbeda dengan tulisan-tulisan yang lain, dia mengangkat tema perkenalan cintanya di sangata sehingga menemukan pendamping hidupnya. Terakhir adalah “Geliat di kampung kajang” tulisan dari DH. Devita.

Buku ini akan menarik bila dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra yang secara setting dan lokasi diangkat khusus tentang dinamika Sangata. Pesan moral yang saya tangkap dalam buku ini pada dasarnya selalu berkaitan dengan kehidupan serta tindak tanduk manusia-dalam hal ini. Dan memang dalam suatu nilai karya sastra sebagai hasil cipta seorang penulis secara langsung atau tidak langsung di dalam isi karya sastra tersebut terdapat nilai-nilai moral baik secara tersurat maupun tersirat. dan saya mendapatkan banyak pesan moral maupun cerita yang benar-benar terjadi dan ada di Sangata yang tidak saya temukan di kota lain.

Bagi saya, ada satu kekurangan dalam buku ini, yakni terletak pada covernya. Bila memandang sekilas, buku ini seperti buku tulis anak sekolah dasar yang kebanyakan gambar (poto). Namun demikian, tidak mengurangi keceriaan cerita yang ada di dalamnya tentang Sangata. Selamat membaca dan selamat berinaugurasi FLP Cabang Sangatta pada hari Minggu, 22 Pebruari 2009!

Sangatta, 16 Pebruari 2009

Sismanto

http://mkpd.wordpress.com