“Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu”Ungkapan di atas tidak kurang dari 13 abad yang lalu disampaikan Ali Bin Abi Thalib R.A. bahwa masa-masa kita mengenyam pendidikan dulu tidak sama dengan pendidikan masa sekarang dan di masa yang akan datang. Barangkali kata-kata ini diadaptasi oleh para pengambil kebijakan pendidikan ditingkat elit sehingga timbul pergantian dan pengembangan kurikulum. Saya mencatat tidak kurang dari delapan kali kurikulum pendidikan kita berubah-ubah, yakni kurikulum 1947, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan kurikulum 2006 yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan alasan mutu, relevansi, efisiensi, dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kaitannya dengan hari pendidikan nasional yang setiap tanggal 2 Mei selalu kita rayakan. Meskipun, peringatan hari pendidikan itu hanya sebatas perayaan, upacara, dan bukan pada tataran aksi konkrit. Mengingat, pendidikan merupakan faktor penting dalam kehidupanmanusia. Dengan pendidikan kepribadian manusia dapat dibina, ditingkatkan, harkat, derajat, martabat, dan nilai kemanusiaannya untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Karena itu pendidikan dalam kehidupan tidak dapat ditiadakan, namun dalam prosesnya kita masih jatuh bangun membangun pendiidkan yang unggul dan berdaya saing. Hal ini terilihat kualitas SDM Indonesia menurut UNDP, masih berada di bawah urutan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina. Untuk itulah, mengganti kurikulum sesuai dengan jamannya bukan berarti selesai masalah di dunia pendidikan. Dunia pendidikan bukan bukan hanya soal kurikulum dan pemenuhan hak untuk mengenyam pendidikan. Tetapi dunia pendidikan juga menuntut profesionalisme guru dan kepala sekolah melalui supervisinya perlu untuk merubah pola revitalisasi profesionalisme guru. Pastinya momentum ini harus dimaknai bahwa pendidikan di masa mendatang akan lebih baik dari pada hanya sekedar berganti produk-produk kebijakan yang tidak populis. Artinya, pendidikan ke depan tidak hanya mementingkan faktor perubahan dengan subtansi yang sama tetapi harus komplek, bukan pendidikan yang cenderung parsial-parsial dan sekadar memenuhi tuntutan kerja (link and macth). Bila peringatan hari pendidikan hanya dimaknai sebagai bentuk perayaan dan bukan dalam tataran konkrit, maka bangsa Indonesia harus rela mengubur mimpinya mempunyai SDM di masa depan.