Awalnya saya merasa agak canggung sekaligus malu-malu, manakala saya menapakkan kaki memasuki sebuah pelataran sekolah yang begitu asri, santun, dan berkesan. Tidak ada papan nama dalam sekolah itu, yang saya temukan adalah para guru yang berjajar rapi dan selalu melambaikan tangannya menunggu murid-murid yang ingin memasuki kelas tersebut. Namun ada papan nama kecil meski belum terdaftar di Jaringan Pendidikan Nasional (jardiknas) maupun Nomor Induk Sekolah (NIS), yang ada hanya sebuah papan bertuliskan “Make a comfort home for all”
Manakala ada murid baru yang baru mendaftar meski tanpa dilengkapi persyaratan ala registrasi sekolah-sekolah formal. Para guru tetap saja tersenyum menyapanya. “Silahkan duduk di bangku paling depan, jadilah ispirasi bagi teman-teman sekelasmu. Jadilah murid yang baik dan terus berkarya dengan tulisan-tulisan inspirasimu!” pun demikian dengan saya kala itu. Bagi saya, suatu apresiasi yang meriah bagi seorang murid baru yang belum kenal betul dengan lingkungan baru, saya belum kenal murid-murid yang lain, belum begitu kenal dengan ketua kelas, sekretaris, dan yang lainnya.
Langkah gontai pun menggelayuti pikiran saya kala itu. Sebuah sekolah tanpa ditumbuhi pohon-pohon akasia yang rindang, tidak ada halaman luas yang biasa digunakan para murid untuk berlari-larian saling mengejar dan bermain dengan teman-temannya, atau para murid saling berkejaran untuk berebut salam menjemput para guru yang datang ke sekolah. Karena saya yakin semua murid dan guru di sekolah ini akan menjadikannya sebagai halaman yang asri untuk bersenda gurau, berbagi cerita, berbagi inspirasi, dan memberikan pelajaran satu dan yang lainnya.
Saya hanya mengenal salah satu nick name “Pandika Sampurna” yang hampir setiap hari mengisi inbox email saya, yang selalu mereplay setiap kali ada postingan. “nama yang selalu saya pertanyakan, siapakah Beliau?” Saya masih tetap saja cuek tidak memberikan respon terhadap email-email yang masuk dalam inbox saya. Pernah juga ada seorang teman sekelas kala itu memberitahukan bahwa akan ada kopdar yang pertama. Saya masih saja awam dengan istilah-istilah yang digunakan di milis. “Kopdar? Apa itu”
Dalam YM (Yahoo Masengger) dia dengan sabar menjawab pertanyaan demi pertanyaan atas ketidaktahuan saya akan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam milis. “Kopi Darat! Jawabnya meyakinkanku. Meski sekarang, dia tidak begitu aktif mereplay setiap postingan yang masuk dalam milis ini. Namun, saya yakin dia tetap membaca satu demi satu postingan-postingan dari sahabat-sahabat di kelas saya. Sahabat! Saya menunggumu di kelas dengan setia. Tetaplah menjadi sahabatku, dan menjadi sabahat bagi sahabat kelasku.
Sekarang, SK tampil dengan nama baru untuk merayakan hari jadinya. Bukan ulang tahun “karena tahun tidak bisa diulang: kata Bu Guru Dyah, salah satu humas Milad SK. Istilah yang diambil pun tidak serta merta, tapi saya yakin penggunaan istilah milad sangat tepat. Barangkali saya dan murid yang lainnya yang kurang begitu paham dengan makna dan arti milad tersebut. Terbukti dengan 1500-an anggota kala itu, hanya sekitar 80-an yang baru daftar milad. “apa karena ketidakmengertian makna milad?” pikirku.
Tanggal dua lima bulan Juni tahun 2008 pukul 20:01, saya ingin membuktikan keakraban dalam sekolah ini, meski lewat telepon sahabat di seberang sana tetap menyapa saya dengan hangat. Meskipun malam itu dia harus mempersiapkan diri untuk sidang/ujian skripsi keesokan harinya. Sahabat, maafkan saya kala itu jika suaraku menggangu belajarmu atau minimal mengurangi waktu belajarmu. Sahabat, saya masih ingin meneruskan obrolan malam itu, sayang HP mu low bat dan bagaimanapun harus terputus olehnya.
Lebih jauh lagi, tanggal satu bulan sepuluh tahun 2007 manakala saya menginjakkan kaki untuk kali pertama di Pulau Kalimantan. Saya tidak mengenal siapapun di sana, yang saya kenal hanyalah salah satu dari sekian sahabat saya yang ada di komunitas sekolah kehidupan. Beliau adalah Mbak Siwi, sesepuh Sekolah kehidupan untuk wilayah Jawa Timur. Mbak Siwi (mamanya Gangga) memberikan alamat kepada saya untuk mengunjungi saudaranya yang berada di Balikpapan, saya lantas bergegas ke alamat itu dengan menggunakan taksi dari bandara Sepinggan Balikpapan. Alamat yang saya tuju adalah alamatnya Mas Sunu (saudara Mbak Siwi), saya disambut dengan hangat di sana. Terimakasih Mas Sunu dan keluarga, meski kedatangan silaturahim saya hanya satu jam dan saya tidak kenal dengan Mas Sunu sekeluarga sebelumnya, tapi berkat nama besar Mbak Siwi saya diterima baik di sana. Terima kasih semua.
Pun demikian, tidak saya temukan satu pun dalam sekolah ini tanda-tanda akan berakhir, meski tahun berganti tahun, yang saya lihat dari hari ke hari sekolah ini kian menjadi berdaya dan digdaya dengan isnpirasi-inspirasi kehidupan. Inspirasi yang selalu dimiliki orang dan tidak semua orang mau memberikan pelajarannya kepada sesamanya. Bagi saya, sekolah ini memberikannya dengan cuma-cuma tanpa mahar maupun bisyarah kepada para guru dan muridnya. Seperti taman tempat berkumpulnya para sahabat dan keluarga yang selalu membagikan inspirasinya setiap hari. Taman yang dijadikan melepas penat ketika semua lelah setlah seharian bekerja atau di kantor tidak ada kerjaan. Taman yang selalu jadi tempat penantian dan pengharapan . . .
Meski saya masih ingat manakala Socrates berkoar-koar di sebuah taman yang kemudian saya kenal dengan “akademos” hanya sekedar menyampaikan sebuah pelajaran, pelajaran kebenaran ilmiah. Pun demikian dengan sekolah ini. Tidak hanya kebenaran ilmiah yang diungkapkan tetapi lebih dari sekedar ilmiah, sebuah inspirasi, kedamaian, dan pencerahan bagi guru dan muridnya. Sahabat, bimbinglah saya ke jalan-Nya, jalan yang lurus, sirathal mustaqim. Amin
http://mkpd.wordpress.com