Smart Parenting, Melajitkan Karakter Anak Islam

Banyumili Travel
Minggu, 24 Maret 2024


Kupersembahkan buku ini sebagai souvenir pernikahan kami.
semoga bermanfaat

Sismanto

http://mkpd.wordpress.com

=================================

Judul          : Smart Parenting, Melajitkan Karakter Anak Islam

Penulis           : Sismanto

Penyunting  : Tri Puri Tosana Handayani

Penerbit        : Hikmah  Pustaka

Kota Terbit  : Malang

Halaman        : 125 hlm + xvi, 23,5 cm

Tahun Terbit   : Maret, 2010

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji Allah yang telah berkata kepada nabi-Nya “Wainnaka laaala khuluqin adhim“, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mempunyai akhlak, budi pekerti yang sangat mulia. Sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah bersabda “Sesungguhnya Aku (Muhammad) di utus hanyalah untuk menyampaikan ahlak yang mulia”, dan semoga terlimpahkan juga kepada keluarga dan sahabat-sahabat yang teleh dipilih mereka oleh Allah yang menjadi panutan bagi seluruh manusia dan petunjuk bagi orang orang yang mendapatkan petunjuk, yang mengajarkan sifat kebijaksanaan yang telah melekat pada diri mereka, yang selalu mensucikan jiwa mereka, dan mendidik ahlak dan budi pekerti.

Tiap hari, sejak kita membuka mata hingga memejamkan kembali, jutaan fenomena kita temukan. Penderitaan, kemewahan, kekacauan, kemaksiatan, keindahan, keburukan dan berbagai hal lainnya. Itulah warna-warni dunia. Kadang semua itu kita alami sendiri, kadang kita hanya menjadi penonton dan pendengar. Dan satu hal yang pasti, kita tidak bisa mengelak dari semua itu.

Pada bagian awal-awal buku ini, penulis memberikan ilustrasi dan dan justifikasi arti pendidikan menurut berbagai pemikir dan filosof pendidikan Islam maupun Barat dalam kapasitasnya memberikan batasan pengertian pendidikan. Sehingga, dapat diketahui pola dan kerangka pikir mereka. Konsepsi para filosof dan pemikir memberikan konklusi bahwa pendidikan merupakan suatu aktifitas dan kretifitas dimana merupakan suatu percobaan semenjak anak kecil sampai dewasa yang bertujuan untuk membentuk seseorang baik secara fisik, akal untuk mencapai keindahan, kedamaian, dan kesempurnaaan. Dengan pengajaran diharapkan kelak mereka selalu berada di tengah tengah masyarakat dengan segala yang ia miliki.

Manusia dianggap memiliki kesempurnaan lebih dibanding makhluk lainnya karena memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kecerdasan tinggi disertai budi pekerti yang luhur. Kecerdasan yang dimiliki manusia tidak sekadar mengedepankan intelektual semata, namun juga menggabungkannya dalam ketajaman nalar filosofis. Analoginya, mengingatkan kita akan hakikat pendidikan, yaitu membentuk manusia seutuhnya baik secara jasmani maupun rohani atau dengan menggunakan bahasa lain, bahwa tujuan pendidikan membentuk manusia seutuhnya yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, berbudi luhur dan bermoral.

Jika dilihat dari perspektif sejarah, tujuan pendidikan adalah bagaimana menyiapkan anak mereka untuk selalu mampu mencukupi keperluan dirinya yang bersifat primer ataupun sekunder sehingga mencapai sutu kesejahteraan pada hidupnya ketika sudah tua lanjut usia. Misalnya orang Yunani Kuno mengatakan bahwa perang adalah kebutuhan hidup yang sangat menentukan pada perkembangan peradaban mereka, sehingga pendidikan menurut mereka adalah bagaimana menyiapkan fisik mereka menjadi kuat dengan di latih militer untuk menang dan sebagian mereka berpendapat bahwa pendidikan adalah yang bersifat indah dan menanamkan rasa kasih sayang di antara mereka, sehingga anak anak mereka dididik untuk mencintai musik, puisi, menggambar serta melukis yang bersifat seni dan keindahan. Hal ini berbeda dengan orang Romawi, mereka beranggapan bahwa siasat dan undang undang adalah jalan untuk mencapai kemenangan dalam berperang bukan masalah fisik dan unjuk kekuatan berlawanan dengan Yunani.

***
Pendefinisian akhlak dalam pembahasan buku ini. Pertama, keterkaitan akhlak dengan asas-asas, keyakinan, dan adat-istiadat yang baik. Orang melakukan perbuatan baik, amal-amal sholeh, dan ibadah muamalah lainnya didasari atas keyakinan dan norma-norma serta aturan yang berlaku. Misalnya seseorang anak muda berjalan di belakang orang yang lebih tua, duduk di bawah (dilantai) sedangkan orang tuanya duduk di atas (di kursi), dan memberi dan menerima dengan menggunakan tangan kanan (memberi dengan menggunakan tangan kanan lebih baik dari pada tangan kiri). Kedua, ketaatan pada tujuan-tujuan dan maksud-maksud yang ditetapkan oleh agama, seperti kejujuran, kebiasaan menepati janji, amanah, rela berkorban, dan bertanggung jawab.

Lalu bagaimana kita mengukur akhlaq itu? Akhlaq adalah tabiat atau karaktristik seseorang, harga seserang tergantung akhlaq, dan tolak ukurnya adalah dengan melihat seberapa jauh dan dekat seseorang itu dengan lingkungan sosialnya. Harga ahlak akan kelihatan karena masyarakat (sosial) adalah kumpulan dari individu-individu yang di situ berlaku hukum sendiri.
* * *

Berbagai fenomena ini kadang membuat kita bahagia bahkan terlalu bahagia, hingga lupa bahwa hal itu hanyalah sementara. Sebaliknya, ada juga permasalahan yang membuat kita merasa sesak dada, seakan itu akhir hidup kita, hingga kita lupa bahwa itu semua adalah ujian dari Allah SWT. Sebenarnya beragam fenomena yang kita rasakan, lihat dan dengar ibarat warna-warni cat. Tergantung siapa yang memerankannya. Di tangan anak kecil, warna-warni cat itu akan digoreskan tak beraturan, bahkan membuat kesal orang tua. Namun, ditangan pelukis, warna-warni cat itu disulap menjadi lukisan yang indah dan mengagumkan. Di situlah diperlukannya kesadaran kolektif pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, khususnya orang tua yang notabene nya lebih dekat dengan anak, sehingga pendidikan anak dapat dipantau sejak dini. Dan pada akhirnya, semakin memantapkan posisi negara sebagai bangsa yang berbudaya, beretika, dan beradab.

Semakin tinggi peradaban dan budaya suatu wilayah/negara, mereka selalu mementingkan urgensi pendidikan dan pengajaran, demikian pula peradaban yang ada di Indonesia dewasa ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga banyak kita jumpai orang tua yang memberikan dorongan kepada anak anak mereka untuk selalu belajar, serta memasukkan mereka ke sekolah-sekolah yang menekankan akan pentingnya pendidikan.

Kerena tidak luput dari peran dan fungsi individu masing masing, yang hanya bergerak pada bidang keilmuan, sehingga tidaklah mahal di mata ketika didirikan lembaga-lembaga berbasis pendidikan. Akhirnya banyak diangkat dari sebagian mereka sebagai tenaga pendidik pada lingkup pendidikan yang mereka dirikan. Di mana mereka yakin bahwa pendidikan merupakan salah satu cara untuk menjadikan kemajuan, dan diyakini pula bahwa dengan pendidikan akan tercapai suatu kemuliaaan, kejayaan, dan semakin beradab.

Pada pertengahan 1990 di Indonesia mulai muncul istilah sekolah unggul (excellent schools) yang tumbuh bagaikan jamur. Perkembangan ini pada awalnya dirintis oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah Islam dengan ditandai biaya yang tinggi, fasilitas yang serba mewah, elitis, eksklusif, dan dikelola oleh tenaga-tenaga yang profesional. Padahal sekolah-sekolah yang serba mewah, ekslusif ini pada dasarnya belum teruji keprofesionalannya. Tujuan kemunculan sekolah-sekolah unggul yang didirikan oleh mereka ini adalah untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan orang tua yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di lembaga pendidikan yang unggul.

Kedua, banyaknya terbitan atau buku-buku dari Barat lebih banyak membahas seputar kebutuhan fisik siswa, dan penekanannya hanya pada pendidikan duniawai. Tujuan pendidikan satu-satunya adalah untuk melatih fisik dan pikiran anak demi mencapai kesenangan dan kenikmatan duniawi, agar ketika dewasa kelak mereka memiliki kondisi dan pandangan hidup yang ideal. Sementara itu, buku-buku yang berkaitan dengan akhlak/moral mereka batasi pada tataran aksi yang pada akhirnya adalah hanya keuntungan duniawi yang dicapai, dan sama sekali tidak menyinggung pahala atau dosa atas perbuatan yang meraka lakukan selama menjalani kehidupan di dunia.

Ketiga, problematika pendidikan di dunia Barat hanya mementingkan pada ketergantungan mereka atas solusi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dan data statistik. Tidak ada kesan “iman dan keyakinan” yang ditanamkan pada anak-anak pada proses ini. Keempat, bahwa manusia memiliki dua aspek penting, yaitu raga dan jiwa. Raga berkaitan dengan kehidupan dunia, dan jiwa berkitan dengan kehidupan akhirat. Antara raga dan jiwa keduanya harus seimbang, begitu juga kehidupan dunia dan akhiratpun demikian. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa dalam menjalankan kehidupan di dunia dan akhirat itu harus seimbang.

Melihat hal ini, penulis memutuskan untuk mempelajari, meneliti, dan kemudian menyampaikan kesimpulan bagi pencari pengetahuan, dalam bentuk buku. Penulisan ini menggunakan referensi Al-Qur’an dan Hadist, kitab-kitab/buku-buku internet, dan literacy lain yang mengangkat seputar isu pendidikan moral/akhlak anak. Sementara sumber acuan yang berasal dari pengalaman penulis sebagai praktisi pendidikan anak juga sangat berharga dalam upaya penyusunan buku ini.

Kebetulan dalam waktu yang lama penulis mempunyai analisis dan pandangan yang selalu ada di benak penulis tentang dunia pendidikan yang berbasis agama dan moralitas (Addiniiyyyah). Sebelum berangkat belajar ilmu di berbagai jenjang pendidikan negeri maupun swasta, sebagian pondok pesantren baik yang modern, tradisional (klasikal), maupun semi modern, yang bergerak pada tingkat satuan pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga ketika dirasa mampu dan punya keberanian, maka saya kembali untuk menerapkan ilmu yang didapat ketika berada di tengah tengah komunitas yang bernama “pendidikan”.

Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan penulis yang tercecer di media masa maupun media internet. Mulai dari Majalah Inside, Majalah Spora, majalah Primagazine, eramuslim.com, warnaislam.com, maupun di blog pribadi. Daripada hanya orang-orang tertentu yang bisa membaca tulisan-tulisan tersebut, khususnya yang penulis posting di media internet, mengingat media internet masih dirasa belum membumi di Indonesia. Kebanyakan artikel ini sudah penulis posting di milis sekolah kehidupan http://yahoogroups.com/sekolah-kehidupan/ dalam kolom pendidikan dan anak.
Pendidikan anak tidak bisa diserahkan begitu saja kepada sekolah. Namun, pendidikan anak bisa dimulai dari keluarga anak itu sendiri. Dalam keluarga inilah seorang anak belajar kali pertama memperhatikan keinginan orang lain, belajar bekerjasama, dan bantu membantu. Seorang anak untuk pertama kali belajar memegang peranan sebagai mahluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain. Pengalaman-pengalamannya dalam interaksi sosial di dalam keluarganya tersebut ikut menentukan cara-cara bertingkah laku terhadap orang lain di dalam pergaulan sosial masyarakat di kemudian hari.

Yang kedua, pendidikan anak di sekolah. Penulis mengawali bab dinamika pendiidkan anak di sekolah dengan cerita yang sering kita jumpai bersama “Ma, mama…. Adek nggak mau sekolah lagi, pokoknya nggak mau. Sekolah itu nggak enak soalnya ada si Jonathan yang gede dan suka gangguin adek, adek takut. Ma …. Adek nggak mau ketemu si Jonathan”. Sambil melototi sinetron di TV yang lagi seruh-seruhnya. “Mmm…., aahh nggak apa-apa, kan biasa itu masa gitu aja takut. Pokoknya besok harus tetap sekolah, nggak boleh bolos. Anggap aja tidak ada apa-apa. ya sudah… sana! Lagi seru niiih……. Wah jadi kelewat deh ceritanya! Kamu sih, ganggu aja!” teriak ibu sambil ngomel-ngomel ke adek yang sudah waktunya sekolah. Kondisi demikian sering kita jumpai pada masyarakat bahwa orang tua terkadang kurang paham bagaimana mendidik anak yang baik. Alih-alih mereka kemudian melemparkan tanggung jawab mendidik anaknya kepada sekolah. Padahal, sebenarnya tugas mendidik yang utama dan pertama adalah pada lingkungan keluarga.

Diyakini atau tidak, anak juga belajar dari lingkungan, masyarakat sekitarnya setelah ia mendapatkan pendidikan kali pertama dari keluarganya. Pun demikian, ketika kelak dewasa anak kita akan kembali ke masyarakat. Lantas, bagaimana mempersipakan anak kita sebelum mereka terjun ke masyarakat. yang dimaksud dengan anak berada dalam lingkungan masyarakat, apabila anak tersebut tidak berada di bawah pengawasan orang tua atau anggota keluarga yang lain dan tidak berada di bawah pengawasan guru atau petugas sekolah yang lain, pengawasan tingkah laku perbuatan anak dalam lingkungan masyarakat ialah oleh petugas-petugas hukum dalam masyarakat, atau juga orang lain dalam masyarakat.

Lantas sebagai orang tua, apakah kita ingin menyerahkan sepenuhnya investasi masa depan kita kepada sekolah dan kemudian lepas tangan? Atau sebagai orang tua yang bijak mensinergikan pendidikan anaknya dengan bekerja sama antara antara orang tua, sekolah, dan masyarakat. Orang tua tidak memposisikan sekolah sebagai yang pertama terkena mortal atas kesalahan anak, tetapi lebih dari bagaimana orang tua bahu-membahu dengan sekolah membentuk karakter anak sesuai dengan yang diinginkan.

Endorsement:
“Mendidik anak, terutama pada masa penuh tantangan dengan segala kesulitan dan problematikanya seperti sekarang, jelas bukan tugas ringan. Harus ditempuh dengan kompetensi moral dan kesungguhan yang penuh. Itulah yang disampaikan buku ini”. Rini Nurul Badariah – penulis

“Buku yang perlu dibaca setiap orang tua, karena Buku Smart Parenting ini sarat dengan isyarat bahwa pendidikan itu tidak hanya merupakan tanggungjawab pendidik di sekolah formal saja, tetapi peran serta orang tua dalam memberikan pendidikan lebih dini sangat dianjurkan, terutama menyangkut keseimbangan pengetahuan, baik mengenai dasar pengetahuan umum maupun agama sehingga si anak nantinya akan dapat memiliki kemampuan yang seimbang baik secara intelektuil maupun spirituil. Dari sini diharapkan akan muncul insan dewasa yang siap berkembang menjadi pemimpin dengan karakter kuat dan berakhlak mulia”. Sinang Bulawan – Founder Sekolah Kehidupan

“Seorang ibu, sepintar apapun dia, tetap saja membutuhkan banyak referensi dalam hal mendidik anak-anaknya. Mencari tahu dari teman sendiri ataupun dari para ahli, mendapatkan informasi dari seorang praktisi yang mumpuni, pastilah jadi satu hal yang dikejar selalu. Membaca buku ini adalah salah satu caranya.” DH Devita – Ibu Rumah Tangga & Penulis

Tidak perlu menjadi sarjana atau profesor untuk dapat mendidik anak dengan baik. Buku ini mampu menjawab berbagai masalah pendidiikan anak dan membuat Anda menjadi orang tua yang cerdas. Sismanto menguraikannya dalam bahasa yang lugas, mengalir dan mudah dipahami. Achi TM. ~ Ibu Rumah tanggal dan penulis Novel

“Buku ini mengingatkan saya bagaimana mendidik akhlak mulia anak-anak saya dulu. semoga buku ini bisa memberi pencerahan dan isnpirasi bagi yang membacanya” Hj. Runing – Bunda Penulis
Buku ini memberi inspirasi bagi “calon bapak baru” yang ingin mendidik anaknya menjadi lebih baik. Dengan buku ini, saya mampu menjadi bapak yang sesungguhnya bagi anak saya. Ari Wibowo ~ Bapak 1 anak dan seorang guru di pedalaman Kalimantan Timur

Pernikahan; sebuah komentar

“Tulisan yang sangat menarik untuk dibaca. Isinya sangat mewakili bagian kehidupan dari rakyat Indonesia, semoga bisa memberikan inspirasi kepada kita semua untuk tidak pernah menyerah dalam berusaha dan selalu berserah diri kepada-Nya. Saya ucapkan selamat dan sukses atas pernikahannya!….Perjuangan belum selesai, sampai hembusan nafas terakhir” (Aris Susanto – CHF Project Department, Expansion Project Division PT. Kaltim Prima Coal)

Kebahagiaan ini adalah anugerah yang menetes dari surga, maka kami ingin membaginya, dan tentu saja memeliharanya dengan segenap cinta. (Taufan E. Prast, Penulis buku)

CINTA SEJATI adalah keajaiban hidup, selamanya akan tergadai dan seorang Anak Nelayan berusaha menebusnya dengan kesungguhan niat, kerja keras, kecerdasan berpikir, kedewasaan sikap, harapan serta kepasrahan total kepada -Nya. sebuah kisah menjemput cinta sejati yang dirangkai apik dan menggetarkan hati. (Joko Wahyono – Praktisi Pendidikan)

Pernikahan adalah penyempurnaan separuh dien. Yang maknanya serat ibadah dan pengorbanan. Asal semua dilakukan berdua, semua adalah ringan. Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Amin (Dewi Yulyani, Ibu 2 orang anak tinggal di Surabaya)
“Cukilan-cukilan moment bersejarah dalam sebuah perjalanan hidup, dimana ada satu titik yang tidak akan terlupakan yaitu pernikahan, diramu dengan takaran pas oleh Mas Sis. Sederhana, mengalir apa adanya, namun sarat inspirasi, hingga mampu membawa pembaca pada satu muara; Cinta. Barakallah.” (Rien Hanafiah – Ketua FLP Sangatta)