Tulisan ini saya buat sebagai oleh-oleh saya manakala menghadiri salah satu seminar di Bukit Pelangi, pusat pemerintahan Kabupaten Kutai timur kalimantan timur. Di sela-sela seminar itu saya sempat mencatat beberapa hal yang disampaikan oleh pemateri melalui catatan kecil yang kemudian saya salin sesampainya di rumah. Ada kalanya kita perlu belajar dari Soekarno, presiden Indonesia pertama. Beliau sebenarnya bukanlah seorang orator yang baik, namun sebagai pendengar yang budiman. Padahal, Soekarno yang kita kenal itu manakala berbicara di depan publik mampu berdiri dan tanpa jeda sampai dalam kurun waktu enam jam. Bahkan, Presiden Yugoslavia kala itu banyak belajar dari beliau. Apa resep yang dimiliki oleh Soekarno sehingga menjadi pembicara yang baik, selidik punya selidik ternyata Soekarno adalah pendengar yang baik. Saya punya seorang guru berkelas nasional, seorang profesor yang selalu ditunggu-tunggu wejangan dan pembicaraannya dalam pendidikan. Kemanapun ia pergi menghadiri undangan seminar selalu ditemani oleh supir pribadinya, supirnya ini hanyalah lulusan sekolah dasar. Kemapuan yang dimilikinya hanyalah menyetir sesuai kehendak juragannya. Namun, ia adalah seorang pendengar yang baik. Setiap kali profesor menyampaikan orasi ilmiahnya, memberikan ceramah di seminar-seminar dan pelatihan, ia selalu duduk di pojok ruangan sembari mendengarkan isi ceramah dari profesor. Tak satupun kata maupun bagaimana cara profesor menjawab pertanyaan-pertanyaan dari audien ia lewatkan. Hal itu ia lakukan secara berulang-ulang sampai ia paham betul bagaimana berbicara yang baik di depan audien. Suatu ketika profesor merasa tidak enak badan dan menyampaikan keinginannya kepada supir untuk menggantikan posisinya sebagai penceramah di suatu seminar. Tentu saja hal ini membuat supir agak aneh, koq bisa-bisanya dirinya diminta menggantikan posisi profesor sebagai penceramah di suatu seminar. Padahal, ia hanya lulusan sekolah dasar tidak banyak belajar tentang teori-teori pendidikan apalagi aplikasinya. Kalaupun iya, itupun sekedar sebagai pembelajar di tingkat sekolah dasar. Pada hari yang ditentukan, seminar yang ditentukan oleh panitia, profesor memberikan jas kebanggaanya yang sering ia pakai ketika memberikan ceramah kepada supir dan supir pun memakainya layaknya seorang profesor sementara profesor berpakaian supir dan menggantikan posisi supir. “Bagaimana nanti saya berbicara di depan audien, prof?” tanya supir “Apakah kamu mendengarkan ceramah saya pada seminar kemarin?” lanjut profesor memberikan pertanyaan atas kebimbangan supir. “iya prof, saya mendengarkan ceramah. Saya pun mendengarkan dengan seksama pertanyaan-pertanyaan para audien beserta paparan jawaban profesor yang profesor kemukakan kemarin” jawab supir. “Baguslah kalau begitu. Karena materi seminar ini sama seperti yang saya sampaikan pada smeinar kamrin. Kamu tinggal mengulangi saja paparan demi paparan saya di depan audien nantinya” “Saudara-saudara, Bapak Ibu peserta seminar sekalian. Berikutnya kita sambut dengan meriah kehadiran profesor yang akan memberikan ceramahnya kepada kita sekalian” suara master of ceremony (MC) dari sudut ruangan. Profesor yang tak lain adalah supir pribadi profesor itu berjalan dengan berjalan dengan kepala tertunduk menuju tempat yang disediakan oleh panitia seminar. Semua hadirin mengira baahwa yang akan memberikan ceramahnya adalah profesor yang mereka kenal, profesor yang selalu dinantikan gagasan-gagasannya tentang pendidikan di masa mendatang yang lebih baik. Namun mereka tidak tahu ternyata yang akan memberikan ceramah adalah supir profesor, sementara profesor sendiri duduk di pojok ruangan sambil menyimak dengan baik apa yang disampaikan oleh supirnya. Supir pun dapat menjelaskan paparan-paparan gagasan dari profesor dengan runtut seperti yang pernah ia dengar pada suatu seminar tempo kemarin. Pun demikian dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh beberapa peserta seminar sama dengan pertanyaan yang diajukan peserta seminar kemarin manakala ia menjadi supir beneran dan duduk di pojok ruangan seminar. Namun ada satu pertanyaan yang membuatnya berpikir sejenak tidak langsung memberikan jawabannya. Sementara di sudut ruangan profesor dengan perasaan tidak menentu itu agak gelisah dengan supirnya yang mendapatkan pertanyaan demikian, mengingat selama mengikuti seminarnya supirnya tidak pernah mendengarkan pertanyaan yang demikian sulit. Pertanyaan dari seorang doktor muda lulusan Australia itu tidak pernah ditanyakan sebelumnya oleh peserta seminar yang pernah ia hadiri manakala ia sebagai pendengar, sebagai supir profesor yang selalu duduk di sudut ruangan seminar mendengarkan cermahnya profesor. Bahkan, di media-media, koran-koran, dan media internet belum pernah membahas permasalahan tersebut. Benar-benar masalah yang baru dan mutakhir dalam pendidikan. “Bapak, pertanyaan yang Bapak ajukan memang tidak pernah diajukan dalam seminar-seminar yang pernah saya hadiri, di koran-koran maupun media lain juga belum pernah menyinggung permasalahan ini. Namun, jawabannya sangatlah sederhana tidak perlu profesor yang harus menyampaikan jawaban atas pertanyaan yang bapak ajukan. Cukup supir saya yang menjawabnya, sekarang sedang duduk di pojok ruangan seminar ini. Bagaimana dengan saya dan Anda apakah sudah bisa menjadi pendengar yang baik atau hanya sebagai pembicara yang merasa baik saja? Tentu keinginan kita minimal bisa belajar dari supir, belajar dari Soekarno, dan belajar dari para pendengar yang baik lainnya. Sengata, 16 Nopember 2008
Kita masih belum bisa menjadi pendengar yang baik, kita lebih suka apabila pembicaraan kita didengarkan oleh orang lain daripada kita harus mendengarkan pembicaraan mereka. Di semiar-seminar, pelatihan-pelatihan, maupun omongan-omongan sehari-hari bersama rekan, kerabat, dan kolega kita cenderung superior daripada inferior dalam hal berbicara. Bagaimana kita bisa menjadi pembicara yang baik sementara manakala kita menjadi pendengar kita tidak menjadi pendengar yang baik.