“Back to nature!” “Back to Nature” adalah istilah yang sering kami gunakan untuk menjalani rutinitas kerja di Sangatta setalah melepas penat dari istirahat sejenak “cuti”. Maklum saja, saya harus meghitung waktu cuti agar dapat tergunakan dengan optimal. Dalam satu tahun, cuti disesuaikan dengan kalender pendidikan yaitu pada saat libur sekolah dan dapat diambil 3 (tiga) kali dalam 1 tahun. Jumlah hari cuti 29 hari takwim dalam satu tahun, kurang dari satu tahun dihitung prorata. Biasanya pengambilan waktu cuti di Sangatta itu adalah pada bulan Juli manakala anak didik liburan akhir tahun pelajaran setelah menjalani rutinitas kegiatan belajar mengajar (KBM) selama satu tahun, bulan Desember – Januari yang jatuh pada liburan semester, dan liburan hari raya. Momen-momen inilah yang bisa saya ambil untuk cuti. Agar saya dapat mengambil liburan hari raya nanti, pada liburan sesuai kalender pendidikan ini saya hanya mengambil jatah cuti 17 hari dari 19 hari dari prorata semenjak saya bekerja di sekolah ini. Agaknya prediksi saya salah atas penafsiran secara maksimal di sisa 12 hari dari 29 hari yang diberikan. Walhasil, hari raya ini saya harus merayakannya di negeri orang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu berkumpul dengan keluarga besar di tanah kelahiran, Pati Jawa Tengah. Yang membuat saya agak lega, saya tetap bisa mengambil cuti hari raya meskipun hanya tiga hari, yakni tanggal 29-30 September, dan tanggal 3 Oktober 2008. praktis hanya tiga hari saya mengambil jatah cuti. Apakah saya hanya berlibur tiga hari itu saya pada hari raya. Ternyata tidak. Strategi pengambilan cuti ini sedikit menguntungkan saya. Mengingat tanggal 1 dan 2 Oktober libur nasional dan hanya bekerja lima kerja. Maka saya mendapatkan cuti yang lumayan juga di hari raya ini terhitung mulai tanggal 27 September 2008 sampai dengan 5 Oktober 2008. lumayan bukan untuk ukuran guru yang susah mendapatkan cuti? Beberapa perbekalan sudah saya siapkan sebelumnya, mulai dari bahan bacaan sampai perbekalan pakaian. Maklum saja, pakaian dan buku-buku di sana agak mahal. Pukul 04.30 WIB tanggal 09 Juli 2008 saya dijemput travel di Malang menuju bandara Djuanda sebelum bertolak ke Sepinggan – Balikpapan. Namun, perjalanan kali ini agak beda dengan biasanya yang langsung menuju sepinggan. Beberapa hari yang lalu pihak penerbangan memberikan tawaran kepada saya dua jadwal penerbangan pada jam 09.10 dan 14.20. saya mengambil yang 09.10 meskipun transit terlebih dahulu di bandara Syamsudin Noer Banjarmasin. Karena pukul 15.00 waktu setempat saya harus melanjutkan penerbangan ke Sangatta, takut terlambat dan tertinggal seperti di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Perkiraan saya meleset dengan mengambil jadwal penerbangan pukul 09.10, secara perjalanan mengalami delay sekitar satu jam dikarenakan cuaca di bandara syamudin Noer tidak memungkinkan, praktis saya sampai di Sepinggan pukul 15.00 yang berarti jadwal penerbangan ke Sangatta dengan menggunakan pesawat Cassa milik perusahaan akan segera berangkat. Secepat kilat saya berlari menuju registrasi Cassa di Sepinggan Balikpapan, lima menit lagi pesawat akan berangkat. “Alhamdulillah”, saya tidak terlambat. Berarti alternatif perjalanan darat yang ditempuh selama delapan jam tidak jadi dan kembali ke jadwaal semula saya mengikuti penerbangan Cassa. Sepanjang menunggu Cassa di Balikapapan untuk menuju Sangatta, saya menghubungi Bapak Warso, Driver yayasan yang bertugas menjemput saya di Bandara Tanjung Bara bahwa hari itu saya akan kembali ke Sangatta. “Sangatta, I’m back” Di Sangatta sanalah saya akan memulai rutinitas kerja sehari-hari mulai dari mempersiapkan diri sebagai guru, persiapan administrasi pembelajaran, persiapan menyambut kedatangan anak didik saya, mendidik sekaligus mengajar anak didik, dan mengembalikannya ke orang tua. “Anak-anak, ayo kita mulai dari awal lagi” Baru beberapa bulan bersama anak didik menjalani pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kejadian menjenuhkan pun mendatangi saya kembali. Yakni, manakala anak didik harus liburan, sementara guru-guru di sekolah pertambangan tidak libur dan tetap masuk kerja. Tanggal 18 September 2008 ini liburan anak-anak digulirkan di sekolah saya sesuai dengan kalender pendidikan yang dibuat oleh pihak pengembangan yayasan. Pada masa saya dulu, guru-guru saya tidak mengatakannya sebagai liburan tetapi belajar di rumah. Namun bagi anak didik saya sekarang, belajar di rumah kuranglah dimengerti. Entahlah, apakah bahasa kinayah yang saya gunakan ini tidak terlalu familiar atau memang anak-anak usia sekolah dasar sekarang harus menggunakan bahasa yang konkrit (ma’rifat). Hal ini terbukti dengan SMS yang dikirimkan anak didik saya semalam “Mr., apakah besok anak-anak lilbur? Tadi Bu Titin memberitahu kami kalu besok belajar di rumah.” Bagi anak-anak Sangatta, liburan ini tentu menyenangkan mengingat rutinitas pembelajaran yang membelenggunya. Padahal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak menginginkan demikian, yang diinginkan hanyalah anak belajar untuk memperoleh standar kompetensi belajar yang diinginkan kurikulum. Namun, di sana-sini masih saja saya dapatkan sekolah-sekolah maupun guru mengejar dan berlari-lari untuk menyelesaikan target kurikulum. Tidak mau tahu anak didik kita sudah begitu payah menghadapi kurikulum yang semakin berat bagi mereka. “Semoga saja liburan ini menyengkan nak”. Namun, tidak demikian bagi guru di sekolah saya yang jam kerjanya disesuaikan dengan jam kerja perusahaan. Meskipun semua anak didik liburan tidak masuk sekolah seperti biasa, para guru tetap saja masuk kerja bila tidak cuti. Bagi guru seperti saya yang tidak cuti tentu akan merasakan jenuh juga manakala tidak bersama anak-anak dalam jangka waktu yang agak lama. “Anak-anak rasanya baru kemarin kita bersama, namun satu hari tanpa kalian Bapak sangat kangen sekali ingin bertemu lagi dengan kalian. Bapak lebih senang mendengarkan kalian bercerita tentang perkelelahian kalian dengan temen sekelas daripada harus termenung sendiri di kantor guru atau kalian menceritakan tentang PR kalian yang belum kalian kerjakan, Bapak lebih senang. Rasanya baru kemarin, kalian melaporkan tentang kejadian di kelas yang kotor, teman-teman kalian yang saling ejek hanya gara-gara memperebutkan duduk di bangku terdepan. “anak-anak rasanya baru kemarin kita belajar bersama tentang bagaimana kita mengenal dan memahami itu bisa rangka manusia yang secara garis besar terbagi atas tiga bagian, bagian tengkorak, bagian badan, dan bagian alat gerak”. Beberapa dari kalian ada yang sudah melupakan pembelajaran tersebut. Namun, Bapak tidak marah secara itu bisa dipelajari lagi dan kita bisa belajar bersama lagi. Hari ini Bapak hanya belajar sendiri di ruang guru, hanya ditemani komputer-komputer yang tidak bernyawa dan berjiwa, tidak seperti kalian yang punya jiwa-jiwa pebelajar. Mereka hanyalah alat bantu manusia bukan jiwa pembelajar. Jika Bapak diminta untuk memilih antara kalian dengan yang lain, Bapak tetap akan memilih kalian. Kalianlah jiwa Bapak dan Bapak akan tetap merindukan kalian, Bapak akan tetap menunggu hari pembelajaran tiba, dan kita akan belajar bersama lagi. Bahkan, ketika bus datang dari kejauhan memasuki kawasan perumahan Griya Prima Lestari, komplek perumahan perusahaan tambang batubara terbesar itu anak-anak sudah berjejar dengan rapi di depan koridor halaman sekolah. Mereka secara bergantian, dan sebagian secara bersamaan melambaikan tangan ke arah rombongan guru yang berada di bus yang menuju ke arah mereka. Sebelum bus sampai ke koridor halaman sekolah, biasanya memutar terlebih dahulu secara landcapce sekolah yang dibuat demikian sehingga lalu lalng kendaraan berasal dari satu arah. Tanpa saya sayangka, hari itu biasanya saya atau guru-guru yang lain yang membuka pintu bus yang mengangkut rombangan saya, ternyata ada sesosok anak kecil dengan baju seragam merah putih membuka pintu bus dengan senyumnya yang tulus sembari menyapa rombongan guru yang ada di dalam bus. Senyum yang alami, tidak ada paksaan, dan tulus itu membuat semangat saya yang kurang bersemangat di hari pertama masuk kerja sebagai guru sirna seketika dengan gegap gempitanya anak-anak peserta didik yang menyambut kedatangan saya dan guru-guru yang lain. Lega rasanya bergumul kembali bersama anak-anak didik, meski penat dan lelah setelah perjalanan panjang menembus belantara Sangata. Kota dengan tambang batubara terbesar yang sarat pesona dan dinamika. Salam, Owner Banyu Mili Travel “Jadilah guru bagi diri sendiri, sebelum menjadi guru orang lain” http://mkpd.wordpress.com dimuat eramuslim tanggal 18 desember 2008 http://eramuslim.com/oase-iman/sangatta-i-m-back.htm