KOMPAS.com – Anda belum percaya diri atau merasa sepi bila traveling sendiri? Apalagi teman-teman dekat yang ingin Anda ajak pelesiran malah tidak tertarik. Mereka malah lebih tertarik jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Di era teknologi informasi sekarang ini dimana dunia dalam genggaman, mencari teman yang punya hobi sama dengan kita tidaklah terlalu sulit. Pengalaman saya bergabung dengan komunitas Backpacker Murah ternyata cukup menyenangkan, yaitu sebuah komunitas di jejaring sosial, tempat orang-orang yang hobi traveling dengan perencanaan biaya sehemat mungkin. Bukan berarti mereka para pemilik “kantong kempes” loh, banyak di antara mereka para pekerja muda yang sebenarnya memiliki penghasilan cukup. Paling tidak di komunitas tersebut kita bisa tukar menukar informasi dengan sesama anggota, misal informasi tentang lokasi penginapan yang bagus dan murah, transportasi yang efisien. Bahkan tidak jarang teman di kota tujuan sering mempersilakan kita menginap di rumahnya sekaligus menjadi guide selama kita jalan-jalan di sana. Perjalanan saya dengan mereka kali ini ke Garut, kota di Jawa Barat yang terkenal dengan dodol dan kini memiliki ikon baru yaitu chocodot alias cokelat dodol yang dijajakan dengan kemasan yang sangat lucu dan unik. Kami berlima yang sebelumnya pernah beberapa kali traveling bersama berangkat Jumat malam selepas pulang kantor menggunakan sebuah mobil dari Jakarta. Tujuan pertama kami adalah kota Bandung untuk menjemput seorang teman sesama anggota komunitas. Teman yang ternyata Wakil Kepala Sekolah pada salah satu sekolah swasta di Kota Kembang tersebut mempersilakan kami istirahat di rumahnya sebelum esok pagi “cabut” menuju Garut. Menambah Wawasan Hanya satu jam lebih perjalanan atau sekitar 46 kilometer dari Bandung kami sudah sampai di Kabupaten Garut. Banyak pilihan obyek wisata di kota yang terkenal dengan domba aduan itu. Namun buat kami selain lari dari kesumpekan Ibu Kota untuk menyegarkan pikiran, menambah wawasan pengetahuan menjadi salah satu tujuan. Maka dari itu Cagar Budaya Cangkuang yang terletak di Kecamatan Leles, Garut menjadi pilihan utama yang akan kami kunjungi. Kompleks peninggalan sejarah yang berada di sebuah pulau yang bernama Pulo Panjang itu berada di tengah Situ Cangkuang. Situ yang dalam bahasa Sunda berati danau kecil. Nama Cangkuang sendiri diambil karena di lokasi tersebut dahulu banyak ditumbuhi pohon cangkuang yaitu pohon yang daunnya panjang-panjang seperti pandan dan buahnya mirip buah cempedak. Dalam komplek cagar budaya tersebut kita bisa melihat sebuah candi Hindu kuno yang di dalamnya terdapat sebuah patung Dewa Syiwa yang diperkirakan merupakan peninggalan abad ke-7. Candi kecil yang juga dinamakan Candi Cangkuang itu selesai dipugar tahun 1976 hanya memiliki ukuran 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 8,5 m. Terletak di atas bukit kecil, candi ini merupakan satu dari sedikit candi yang ditemukan di tatar Sunda, hingga saat ini belum jelas benar siapa yang mendirikan. Candi-candi yang ditemukan di Jawa Barat, seperti Candi Batujaya, Candi Bojongmenje, dan Candi Cibuaya umumnya lebih tua di banding candi yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Candi Cangkuang ditemukan tahun 1966 oleh Tim Sejarah Leles berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku notulen Bataviaasch Genootshap (1893). Dalam notulen itu Vorderman menulis tentang adanya makam tua dan patung Dewa Syiwa di sana. Saat pertama ditemukan kembali, kondisi Candi Cangkuang dalam bentuk reruntuhan, batu candi yang tersisa dan berserakan hanya tinggal sekitar 40 persen saja. Pasalnya banyak batu-batu candi diambil oleh warga sekitar untuk digunakan sebagai batu nisan. Jadi yang kita lihat saat ini adalah hasil rekonstruksi para ahli dan dibangun kembali menggunakan batu-batu yang sebagian besar bukan aslinya lagi. Hanya berjarak kurang dari empat meter di sebelah kanan candi terdapat makam tua yang dipercaya sebagai kuburan Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad yaitu tokoh penyebar agama Islam di daerah Leles dan sekitarnya. Menurut keterangan petugas di sana, tokoh Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram Islam sekitar Abad 17 yang menurut ceritanya merupakan utusan kerajaan untuk menyerang Belanda ke Batavia. Namun, karena gagal dalam tugas dan malu bila harus pulang ke Mataram maka dia memilih untuk menetap di sekitar Situ Cangkuang. Keturunan asli garis perempuan Arief Muhammad sampai saat ini masih menetap tidak jauh dari makam tua dan candi tersebut yaitu di Desa Adat Kampung Pulo. Mereka sangat taat dalam menjaga tradisi yang diwariskan. Salah satu yang menjadi daya tarik di kampung itu adalah warga tetap menjaga bentuk dan jumlah rumah adat yang ada yaitu hanya berjumlah enam buah. Di antara rumah-rumah itu terdapat sebuah langgar yang sama tuanya. Bagi anak laki-laki yang sudah menikah harus keluar dari dari kampung kecil itu meski umumnya mereka masih tinggal di sekitar Situ Cangkuang. Di sana juga ada larangan memelihara ternak berkaki empat, seperti kerbau, sapi, kambingbdan yang unik adalah larangan memukul gong besar. Pengaruh Hindu juga masih terasa dalam masyarakat Kampung Pulo, seperti tidak bekerja di ladang pada hari Rabu dan menggunakan dupa dan sesaji saat berdoa di makam. Persis di depan Makam Eyang Dalem Arief Muhammad terdapat museum sederhana yang menyimpan koleksi berupa naskah-naskah kuno berbahasa Arab tentang ajaran Agama Islam yang ditulis tangan di atas kulit kayu dan kulit kambing, foto-foto saat pemugaran candi serta lukisan besar ilustrasi Mbah Eyang Dalem Arief Muhammad. Untuk menyeberang ke Pulo Panjang yang hanya beberapa ratus meter saja dari tepi danau kita harus menggunakan rakit wisata yang disediakan pihak pengelola. Tetapi sangat disayangkan sebagai salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Garut, di depan pintu masuk Cagar Budaya itu kurang ditata dengan baik, tempat parkir kotor dan becek serta kios-kios pedagang yang letaknya tidak beraturan. Walaupun tiket masuknya murah tidak terlihat banyak pengunjung. Dari pengunjung yang datang kebanyakan adalah para pelajar dan orang-orang yang penasaran tentang sejarah. Burayot Ibarat makanan kurang garam begitupun bila jalan-jalan tanpa mencoba makanan khas setempat. Di Garut khususnya di sekitar Situ Cangkuang terdapat kue tradisional yang tidak ditemukan di daerah lain, namanya Burayot. Bentuknya seperti buah salak kecil, terbuat dari tepung beras dan gula merah, rasanya seperti kue cucur tetapi lebih legit dan nikmat. Hari belum terlalu siang saat kami selesai berkeliling dan menikmati pemandangan alam di kawasan cagar budaya tersebut. Kami pun memutuskan menghabiskan sisa hari itu untuk mengunjungi Taman Wisata Cagar Alam Kamojang atau sering disebut Kawah Kamojang, sebuah kawasan wisata geologi di pinggir hutan di mana Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi pertama di Indonesia berada. (Eristo Subyandono) diadaptasi dan http://travel.kompas.com/read/2013/08/24/1134168/Ke.Candi.Cangkuang.dengan.Komunitas.Jalan-jalan diakses pada tanggal 28 Nopember 2013
Dengan perencanaan yang matang bahkan dengan memanfaatkan teman se-grup yang ada di daerah yang akan kita tuju akan sangat membantu dalam menghemat biaya sebuah perjalanan.