Sismanto HS Pun demikian dengan musim panen ikan di tambak kampung saya, karena tinggal di pinggiran pantai dan tidak ada yang memiliki sawah, yang mereka miliki hanyalah tambak. Maka musim panen ikan di tambak merupakan kegiatan yang selalu dinantikan oleh anak-anak seusia saya. Bagi pemilik tambak di kampung saya yang memanen ikan dan udang budidaya tambak dikenal dengan istilah “ngopeki” atau “ngubeki”, sementara orang-orang yang mencari sisa-sisa panen ikan di tambak disebut dengan “jerupoh”. Salah satu pemilik tambak yang ada di desa adalah bapak saya dengan memiliki sebidang tambak warisan yang dibagi bersama adik-adiknya. Pengelolaan tambak dibagi bersama tujuh orang adik-adik bapak dilakukan secara bergilir setiap tahun. Mengingat bapak adalah anak sulung, maka tahun pertama pengelolaan tambak selama satu tahun dikelola bapak saya, tahun berikutnya dikelola adik bapak yang nomor dua, kemudian adek bapak nomor tiga dan seterusnya, dan pengelolaan tambak kembali lagi ke bapak saya setelah 8 tahun kemudian. Bagi pemilik tambak, panen ikan ditambak juga tidak luput dari orang-orang yang jerupoh. Sebelum “ngopeki” atau panen ikan di tambak, petani tambak akan menguras air yang ada di tambak terlebih dahulu untuk menyedot air dengan menggunakan pompa air bermesin diesel. Saya heran mengapa petani tambak ketika akan panen ini kan tidak menghabiskan semua air yang ada di ditambah tetapi menyisakan sedikit air agar ikan itu tidak mati dan ikan tidak masuk ke dalam lumpur. Tidak cukup dengan menguras air saja, petani tambak juga mengatur strategi agar panen ikan bisa maksimal dan tidak sampai tertangkap oleh orang yang jurupoh. Strategi ngopeki yang digunakan petani tambak ketika memanen ikan di tambak dengan menggunakan sistem berlapis. Saya menghitungnya terdiri dari tiga lapisan agar tidak sampai tercecer atau terlewat oleh orang yang jerupoh. Pasukan “ngopeki” yang berada pada garda terdepan adalah pasukan dengan tangan kosong, dengan berjalan maju dan tangan meraba-raba di dalam air pasukan garuda terdepan ini “gogo” dan khusus menangkap khusus udang windu atau bago. Pasukan lapis kedua yang ada di belakang orang “gogo” adalah pasukan dengan menggunakan alat “seser” atau “trol”. Cara kerja dari alat ini adalah dengan cara men drag dari belakang ke depan atau mendrag dari kiri ke kanan untuk menangkap udang maupun ikan. Bila menggunakan seser masih memungkinkan ikan akan lewat dan tidak masuk pada alat ini namun bila menggunakan alat troll, maka kecil kemungkinan ikan akan lepas dan ditangkap oleh orang yang jerupoh. Pasukan terakhir dari pemilik tambak yang disiapkan adalah pasukan pembawa “serok”. Tugas dari pasukan pembawa serok ini adalah menampung hasil tangkapan orang yang “gogo” atau membackup orang yang membawa seser atau troll. Jumlah dari pasukannya membawa serok ini tergantung kebutuhan, ada yang berjumlah tiga orang, lima orang, dan bahkan sampai tujuh orang. Pasukan terakhir yang sebenarnya tidak diinginkan ada oleh pemilik tambak adalah orang yang jerupoh. Posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi irang yang jerupoh, mereka selalu berada di posisi paling buncit dari orang yang “ngopeki” tambak. Bila posisi dari kesemua strategi yang disiapkan oleh pemilik tambak, mulai dari pasukan gogo, pasukan seser atau trol, dan pasukan serok, maka posisi pasukan orang yang jerupoh ini berada di belakangnya, dan mereka mengambil apa saja yang terlewatkan dari tiga lapis yang sudah disiapkan oleh orang yang panen tambak. Sebagai anak petani tambak, saya merasakan strategi yang digunakan harus berjalan dengan baik. Di malam harinya saja sebelum acara “ngopeki”, maka bapak dan semua adek-adeknya serta orang yang ditugasi mengelola tambak akan berada di tambak menunggu sampai air tambak surut. Sambil menunggu sebuah mesin pompa air yang digunakan untuk menyedot air berjalan dan kalau perlu ditambah dengan dua buah mesin pompa air sampai airnya benar-benar surut dan siap dipanen ikannya. Sebagai seorang yang tinggal di kampung, saya juga senang bila ada tetangga “ngopeki” tambaknya. Saya juga menjadi orang yang jerupoh, berada di posisi paling akhir, dan hanya pasrah apakah akan ada ikan-ikan yang terlewatkan yang bisa saya dapatkan atau saya harus pulang dengan tangan hampa. Pernah suatu ketika saya ikut sebagai orang yang jerupoh, ada ikan yang masuk kedalam celana saya. Ada perasaan kaget dan hampir saja berteriak karena ada ikan masuk ke dalam celana saya. Kekagetan saya tidak berlangsung lama, saya harus menguasai keadaan agar ikan yang saya dapat itu tidak sampai terdengar oleh orang yang “ngopeki”. Bila sampai terdengar oleh pemilik tambak, bisa jadi pemilik tambak akan meminta ikan yang saya dapatkan, terlebih lagi bila ikan itu jenisnya udang windu atau ikan bandeng. Barangkali Allah memberikan cara yang terbaik bagi hambanya yang benar-benar berusaha, di tengah kekhusukan berdoa dan ikhtiar yang penuh sebagai orang yang jerupoh, tentu saja ikan yang masuk ke dalam celana saya itu merupakan rejeki yang diberikan Allah kepada hambanya yang sedang jerupoh. Hamba yang senantiasa berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang dinginkan di tengah keadaan dan ketidakpastian jerupoh. Sangatta, 10 Februari 2017 https://telegram.me/sismantohs
Istilah “jerupoh” tidak hanya dimonopoli oleh para petani kampung. Jerupoh merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak maupun orang dewasa ketika tetangganya sedang memanen padi. Biasanya ketika musim panen padi, setelah tanaman padi dibabati menggunakan arif maupun mesin pemotong, padi kemudian dikumpulkan di suatu tempat. Setelah padi terkumpul, padi dirontokkan dengan menggunakan alat “dos”, orang-orang kampung menyebutnya “ngedos”. Penggunaan alat dos ini pun masih manual yaitu dengan cara dipancal layaknya memancal sepeda. Sisa-sisa bulir padi yang masih tertinggal di batangnya ini diambil dan dikumpulkan oleh orang jerupoh.
Sismanto HS
Gabung dan dapatkan inspirasi kehidupan di